Perseverance Of The Saints (10) (Ketekunan Orang-Orang Kudus)
Pdt.Budi Asali, M.Div.
Barnes’ Notes (tentang Ibr 2:3): “‘If we
neglect.’ It is not merely if we commit great sins. Not, if we are murderers,
adulterers, thieves, infidels, atheists, scoffers. It is, if we merely
‘neglect’ this salvation - if we do not embrace it - if we suffer it to pass
unimproved. ‘Neglect’ is enough to ruin a man. A man who is in business need
not commit forgery or robbery to ruin himself; he has only to ‘neglect’ his
business, and his ruin is certain. A man who is lying on a bed of sickness,
need not cut his throat to destroy himself; he has only to ‘neglect’ the means
of restoration, and he will be ruined. A man floating in a skiff above Niagara,
need not move an oar or make an effort to destroy himself; he has only to
‘neglect’ using the oar at the proper time, and he will certainly be carried
over the cataract. Most of the calamities of life are caused by simple
‘neglect.’ By neglect of education children grow up in ignorance; by neglect a
farm grows up to weeds and briars; by neglect a house goes to decay; by neglect
of sowing, a man will have no harvest; by neglect of reaping, the harvest would
rot in the fields. No worldly interest can prosper where there is neglect; and
why may it not be so in religion? There is nothing in earthly affairs that is
valuable that will not be ruined if it is not attended to - and why may it not
be so with the concerns of the soul? Let no one infer, therefore, that because
he is not a drunkard, or an adulterer, or a murderer, that, therefore, he will
be saved. Such an inference would be as irrational as it would be for a man to
infer that BECAUSE he is not a murderer his farm will produce a harvest, or
that BECAUSE he is not an adulterer THEREFORE his merchandise will take care of
itself. Salvation would be worth nothing if it cost no effort - and there will
be NO salvation where no effort is put forth.” [= ‘Jika kita mengabaikannya’. Bukan semata-mata jika kita melakukan dosa-dosa besar. Bukan,
jika kita adalah pembunuh-pembunuh, pezinah-pezinah, pencuri-pencuri,
orang-orang kafir, atheis-atheis, pengejek-pengejek. Itu adalah, jika kita semata-mata
‘mengabaikan’ keselamatan ini - jika kita tidak memeluk / mempercayainya - jika
kita membiarkannya lewat tanpa mendapatkan manfaat darinya.
‘Pengabaian’ adalah cukup untuk menghancurkan seorang manusia. Seseorang yang
ada dalam bisnis tidak perlu melakukan pemalsuan atau perampokan untuk
menghancurkan dirinya sendiri; ia hanya harus / perlu untuk mengabaikan
bisnisnya, dan kehancurannya adalah pasti. Seseorang yang berbaring di ranjang
penyakit, tidak perlu memotong tenggorokannya untuk menghancurkan dirinya
sendiri; ia hanya harus / perlu untuk mengabaikan cara pemulihan, dan ia akan
dihancurkan. Seseorang yang mengapung dalam sebuah perahu di atas Niagara,
tidak perlu menggerakkan sebuah dayung atau berusaha untuk menghancurkan
dirinya sendiri; ia hanya harus / perlu untuk mengabaikan penggunaan dayung itu
pada waktu yang tepat, dan ia pasti akan dihanyutkan melewati air terjun itu. Banyak bencana-bencana dari kehidupan disebabkan semata-mata
oleh pengabaian. Oleh pengabaian pendidikan anak-anak bertumbuh
dalam ketidaktahuan; oleh pengabaian suatu pertanian bertumbuh menjadi rumput
liar dan tanaman berduri; oleh pengabaian suatu rumah menjadi rusak; oleh
pengabaian penaburan, seseorang tidak akan mendapatkan hasil penuaian; oleh
pengabaian penuaian, hasil penuaian akan membusuk di ladang. Tak ada kepentingan duniawi bisa berhasil dimana disana ada
pengabaian; dan mengapa itu tidak bisa seperti itu dalam agama? Tidak ada
apapun dalam urusan-urusan duniawi yang berharga yang tidak akan dihancurkan
jika itu tidak diperhatikan - dan mengapa itu tidak bisa demikian dengan
kepentingan / urusan jiwa? Karena itu, jangan seorangpun
menyimpulkan bahwa karena ia bukan seorang pemabuk, atau seorang pezinah, atau
seorang pembunuh, maka karena itu ia akan diselamatkan. Kesimpulan seperti itu
sama tidak rasionilnya dengan kalau seseorang menyimpulkan bahwa KARENA ia
bukan seorang pembunuh pertaniannya akan menghasilkan panen, atau bahwa KARENA
ia bukan seorang pezinah KARENA ITU perdagangannya akan mengurus dirinya sendiri.
Keselamatan tidak ada harganya jika itu tidak
membutuhkan usaha
- dan tidak akan ada keselamatan dimana tidak dikeluarkan usaha.].
Catatan: hati-hati dengan kalimat
terakhir dari kutipan ini. Ini sama sekali tak menunjukkan bahwa Barnes
mempercayai keselamatan karena usaha / perbuatan baik. Kontext dari
kata-katanya menunjukkan bahwa yang ia maksudkan dengan ‘usaha’ adalah ‘tindakan memperhatikan injil’.
Calvin (tentang Ibr 2:1): “The
import of the whole is this, that the higher the dignity of Christ is than that
of angels, the more reverence is due to the Gospel than to the Law.” [= Maksud dari seluruhnya adalah
bahwa martabat Kristus yang lebih tinggi dari malaikat mengharuskan hormat yang
lebih besar terhadap Injil dari pada terhadap hukum Taurat.] - hal 51.
Calvin (tentang Ibr 2:3): “‘If we neglect so great a salvation,’ etc. Not only the
rejection of the Gospel, but also its neglect, deserves the heaviest punishment,
... God
would indeed have his gifts valued by us according to their worth. Then the
more precious they are, the baser is our ingratitude when we do not value them.
In a word, in proportion to the greatness of Christ will be the severity of
God’s vengeance on all the despisers of his Gospel.” [= ‘Jika
kita mengabaikan keselamatan yang begitu besar’, dst. Bukan hanya penolakan terhadap Injil, tetapi juga
pengabaiannya, layak mendapat hukuman yang terberat, ... Allah memang menghendaki karuniaNya dinilai oleh kita
menurut nilainya. Makin berharga karunia itu, makin jelek / hina rasa tidak
berterima kasih kita pada saat kita tidak menghargainya. Singkatnya, kerasnya
pembalasan Allah terhadap semua orang yang menghina / memandang rendah Injil,
akan sebanding dengan kebesaran Kristus.] - hal 53.
Editor dari Calvin’s
Commentary menambahkan bahwa ‘menyia-nyiakan’ berarti ‘not to care for’
[= tidak mempedulikan / mengurus]. Tidak mempedulikan / tidak mengurus keselamatan
kita berarti menyia-nyiakan / mengabaikannya.
John Owen (tentang Ibr 2:1): “the design of the
apostle in those verses is to prove that they shall deservedly and assuredly
perish who should neglect the gospel.”
[= rancangan dari sang rasul dalam ayat-ayat itu adalah untuk membuktikan bahwa
mereka, yang mengabaikan injil, akan binasa secara
layak dan pasti.].
John Owen (tentang Ibr 2:3): “‘If we neglect,’ -
that is, if we continue not in a diligent observation of all those duties which
are indispensably necessary unto a holy, useful, profitable profession of the
gospel.”
[= ‘Jika kita mengabaikan’, - artinya, jika kita
tidak terus menerus dalam suatu tindakan memperhatikan yang rajin dari semua
kewajiban-kewajiban itu yang adalah mutlak perlu untuk suatu pengakuan yang
kudus, berguna, bermanfaat dari Injil.].
John Owen (tentang Ibr 2:3): “There is a punishment intimated upon this sinful
neglect of the gospel:”
[= Disana ada suatu hukuman yang dinyatakan secara tak langsung pada pengabaian yang berdosa dari injil ini.].
Jadi, jelas bahwa boleh
dikatakan semua penafsir, baik Reformed maupun Arminian beranggapan bahwa Ibr
2:1-3 ini berbicara tentang orang-orang yang mengabaikan keselamatan atau
injil, bukan orang yang sudah selamat yang lalu kehilangan keselamatannya!!
i) Ibr 3:6,12,14 - “(6) tetapi Kristus setia sebagai
Anak yang mengepalai rumahNya; dan rumahNya ialah kita, jika kita sampai kepada akhirnya teguh berpegang pada
kepercayaan dan pengharapan yang kita megahkan. ... (12) Waspadalah,
hai saudara-saudara, supaya di antara kamu jangan terdapat seorang yang hatinya
jahat dan yang tidak percaya oleh karena ia murtad
dari Allah yang hidup. ... (14) Karena kita telah beroleh bagian
di dalam Kristus, asal saja kita teguh berpegang sampai
kepada akhirnya pada keyakinan iman kita yang semula.”.
Ay 6: ‘kepercayaan’.
KJV/RSV/NASB: ‘confidence’ [= keyakinan].
NIV: ‘courage’ [= keberanian].
Adam Clarke (tentang Ibr
3:6): “‘If we hold fast the confidence.’ We are now his
church, and shall continue to be such, and be acknowledged by him as we
maintain our Christian profession, teen parreesian, that liberty
of access to God, which we now have, and the rejoicing of the hope, i.e. of
eternal life which we shall receive at the resurrection of the dead. The word parreesia, which is here
translated confidence, and which signifies freedom of speech, liberty of
access, etc., seems to be used here to distinguish an important Christian
privilege. Under the old testament no man was permitted to approach to God:
even the very mountain on which God published his laws must not be touched by
man nor beast; and only the high priest was permitted to enter the holy of
holies, and that only once a year, on the great day of atonement; and even then
he must have the blood of the victim to propitiate the divine justice. Under
the Christian dispensation the way to the holiest is now laid open; and we have
parreesian, liberty, of
access, even to the holiest, by the blood of Jesus. Having such access unto
God, by such a Mediator, we may obtain all that grace which is necessary
to fit us for eternal glory; and, having the witness of his Spirit in our heart,
we have a well grounded hope of endless felicity, and exult in the enjoyment of
that hope. But if we retain not the grace, we shall
not inherit the glory.” [= ‘Jika kita memegang teguh keyakinan’.
Sekarang kita ada dalam gerejaNya, dan akan terus seperti itu, dan diakui
olehNya selama kita mempertahankan pengakuan Kristen kita, TEN PARRESIAN (the confidence / keyakinan), kebebasan masuk kepada Allah itu, yang
kita sekarang punyai, dan sukacita dari pengharapan, artinya tentang hidup yang
kekal yang akan kita terima pada kebangkitan orang mati. Kata PARRESIA, yang di
sini diterjemahkan keyakinan, dan yang berarti kebebasan berbicara, kebebasan
untuk masuk, dsb., kelihatannya digunakan di sini untuk membedakan suatu hak
Kristen yang penting. Di bawah Perjanjian Lama tak ada orang yang diijinkan
untuk mendekati Allah: bahkan gunung dimana Allah menyatakan / mengumumkan
hukum-hukumNya tidak boleh disentuh oleh orang ataupun binatang; dan hanya imam
besar diijinkan untuk masuk ke Ruang Maha Suci, dan itu hanya sekali setahun,
pada hari besar penebusan; dan bahkan pada saat itu ia harus mempunyai darah
dari korban untuk menenangkan keadilan ilahi. Pada jaman Kristen jalan kepada
yang paling suci sekarang terbuka; dan kita mempunyai PARRESIAN, kebebasan
masuk, bahkan kepada yang paling suci, oleh darah Yesus. Setelah mendapat
jalan masuk kepada Allah, oleh Pengantara seperti itu, kita bisa mendapatkan
semua kasih karunia itu yang perlu untuk menyesuaikan kita untuk kemuliaan
kekal; dan setelah mendapatkan kesaksian dari RohNya dalam hati kita, kita
mempunyai suatu pengharapan yang mempunyai dasar / fondasi yang baik dari
kebahagiaan tanpa akhir, dan bersukacita dalam penikmatan dari pengharapan itu.
Tetapi jika kita tidak mempertahankan kasih
karunia, kita tidak akan mewarisi kemuliaan.].
Adam Clarke (tentang Ibr
3:12): “‘Take heed, brethren, lest there be in any of you.’
Take warning by those disobedient Israelites; they were brought out of the
house of bondage, and had the fullest promise of a land of prosperity and rest.
By their disobedience they came short of it, and fell in the wilderness. Ye
have been brought from the bondage of sin, and have a most gracious promise of
an everlasting inheritance among the saints in light; through unbelief and
disobedience they lost their rest, through the same ye may lose yours. An evil
heart of unbelief will lead away from the living God. What was possible in
their case, is possible in yours.” [= ‘Waspadalah saudara-saudara, supaya jangan di antara
kamu’. Ambillah peringatan oleh orang-orang Israel yang tidak taat itu; mereka
dibawa keluar dari rumah belenggu / perbudakan, dan mendapatkan janji yang
paling penuh tentang suatu negeri dari kemakmuran dan istirahat. Oleh
ketidak-taatan mereka, mereka tidak mencapainya, dan jatuh / mati di padang
gurun. Kamu telah dibawa dari belenggu / perbudakan dosa, dan mempunyai suatu
janji yang paling murah hati / bersifat kasih karunia dari suatu warisan kekal
di antara orang-orang kudus dalam terang; melalui ketidak-percayaan dan
ketidak-taatan mereka kehilangan istirahat mereka, melalui
hal yang sama kamu bisa kehilangan kepunyaanmu. Suatu hati yang
jahat dari ketidak-percayaan akan membimbingmu menjauhi Allah yang hidup. Apa yang mungkin terjadi dalam kasus mereka, mungkin terjadi
dalam kasusmu.].
Bdk. Ibr 3:7-11,15-19 - “(7)
Sebab itu, seperti yang dikatakan Roh Kudus: ‘Pada hari ini, jika kamu
mendengar suaraNya, (8) janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegeraman pada
waktu pencobaan di padang gurun, (9) di mana nenek moyangmu mencobai Aku dengan
jalan menguji Aku, sekalipun mereka melihat perbuatan-perbuatanKu, empat puluh
tahun lamanya. (10) Itulah sebabnya Aku murka kepada angkatan itu, dan berkata:
Selalu mereka sesat hati, dan mereka tidak mengenal jalanKu, (11) sehingga Aku
bersumpah dalam murkaKu: Mereka takkan masuk ke tempat perhentianKu.’ ... (15)
Tetapi apabila pernah dikatakan: ‘Pada hari ini, jika kamu mendengar suaraNya,
janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegeraman,’ (16) siapakah mereka yang
membangkitkan amarah Allah, sekalipun mereka mendengar suaraNya? Bukankah
mereka semua yang keluar dari Mesir di bawah pimpinan Musa? (17) Dan siapakah
yang Ia murkai empat puluh tahun lamanya? Bukankah mereka yang berbuat dosa dan
yang mayatnya bergelimpangan di padang gurun? (18) Dan siapakah yang telah Ia
sumpahi, bahwa mereka takkan masuk ke tempat perhentianNya? Bukankah mereka
yang tidak taat? (19) Demikianlah kita lihat, bahwa mereka tidak dapat masuk
oleh karena ketidakpercayaan mereka.”.
Jawaban saya: Siapa yang mengatakan, dan dimana dalam
text ini dikatakan, bahwa SEMUA orang Israel
yang keluar dari Mesir itu adalah orang-orang percaya yang sungguh-sungguh?
Ro 9:6-8 - “(6) Akan tetapi
firman Allah tidak mungkin gagal. Sebab tidak semua orang yang berasal dari
Israel adalah orang Israel, (7) dan juga tidak semua yang terhitung keturunan
Abraham adalah anak Abraham, tetapi: ‘Yang berasal dari Ishak yang akan disebut
keturunanmu.’ (8) Artinya: bukan anak-anak menurut daging adalah anak-anak
Allah, tetapi anak-anak perjanjian yang disebut keturunan yang benar.”.
Orang-orang Israel yang dihukum mati oleh Tuhan,
hanyalah orang-orang yang kelihatannya
saja adalah orang-orang percaya! Pada jaman sekarang, ini identik dengan
orang-orang kristen KTP.
Adam Clarke (tentang Ibr
3:12): “The apostle shows here five degrees of apostasy: 1. Consenting
to sin, being deceived by its solicitations. 2. Hardness of heart, through
giving way to sin. 3. Unbelief in consequence of this hardness which leads them
to call even the truth of the Gospel in question. 4. This unbelief causing them
to speak evil of the Gospel, and the provision God has made for the salvation
of their souls. 5. Apostasy itself, or falling off from the living God; and
thus extinguishing all the light that was in them, and finally grieving the
Spirit of God, so that he takes his flight, and leaves them to a seared
conscience and reprobate mind. ... He who begins to give the least way to sin
is in danger of final apostasy; the best remedy against this is to get the evil
heart removed, as one murderer in the house is more to be dreaded than ten
without.” [= Sang rasul menunjukkan di sini lima tingkat dari
kemurtadan: 1. Setuju untuk berbuat dosa, setelah ditipu oleh bujukannya. 2.
Kekerasan hati, melalui pemberian jalan kepada dosa. 3. Ketidak-percayaan
sebagai konsekwensi dari kekerasan ini yang membimbing mereka untuk
mempertanyakan bahkan kebenaran dari Injil. 4. Ketidak-percayaan ini
menyebabkan mereka untuk berbicara jahat tentang Injil dan persediaan yang
telah Allah buat untuk keselamatan jiwa-jiwa mereka. 5. Kemurtadan itu sendiri, atau kemerosotan dari Allah yang hidup; dan
dengan demikian memadamkan semua terang yang ada di dalam mereka, dan akhirnya mendukakan Roh Allah, sehingga Ia pergi, dan
meninggalkan mereka pada suatu hati nurani yang layu dan pikiran yang jahat.
... Ia yang mulai memberi jalan yang terkecil pada
dosa ada dalam bahaya dari kemurtadan akhir; obat yang terbaik
terhadap hal ini adalah dengan mengeluarkan hati yang jahat, karena seorang
pembunuh di dalam rumah harus lebih ditakuti dari sepuluh di luar.].
Jawaban saya: dalam Perjanjian Baru, ada janji bahwa
Roh Kudus akan tinggal selama-lamanya
dalam diri orang percaya. Lalu bagaimana Ia bisa meninggalkan orang percaya?
Yoh 14:16 - “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia
akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya,”.
Adam Clarke (tentang Ibr
3:14): “‘For we are made partakers of Christ.’ Having believed
in Christ as the promised Messiah, and embraced the whole Christian system,
they were consequently made partakers of all its benefits in this life, and
entitled to the fulfillment of all its exceeding great and precious promises
relative to the glories of the eternal world. The former they actually
possessed, the latter they could have only in case of their perseverance;
therefore the apostle says, If we hold fast the beginning of our confidence
steadfast unto the end, i.e. of our life. For our participation of glory
depends on our continuing steadfast in the faith, to the end of our Christian
race. The word hupostasis,
which we here translate confidence, from hupo,
under, and histeemi, to place
or stand, signifies properly a basis or foundation; that on which
something else is builded, and by which it is supported. Their faith in Christ
Jesus was this hypostasis or foundation; on that all their peace, comfort, and
salvation were builded. If this were not held fast to the end, Christ, in his
saving influences, could not be held fast; and no Christ, no heaven. He who has
Christ in him, has the well-founded hope of glory; and he who is found in the
great day with Christ in his heart will have an abundant entrance into eternal
glory.” [= ‘Karena kita dibuat menjadi pengambil-pengambil bagian
dari Kristus’. Setelah percaya kepada Kristus sebagai Mesias yang dijanjikan,
dan memeluk / mempercayai seluruh sistim Kristen, konsekwensinya mereka dibuat
menjadi pengambil-pengambil bagian dari semua manfaat-manfaatnya dalam
kehidupan ini, dan berhak atas penggenapan dari semua janji-janji yang sangat
besar dan berharga berkenaan dengan kemuliaan dari dunia yang kekal. Yang
pertama mereka miliki dengan sungguh-sungguh, yang
terakhir mereka bisa miliki hanya dalam kasus ketekunan mereka;
karena itu sang rasul berkata, ‘Jika kita memegang teguh permulaan dari
keyakinan kita sampai akhir’, yaitu dari kehidupan kita. Karena partisipasi kemuliaan kita tergantung pada keteguhan
/ kesetiaan kita yang terus menerus dalam iman, sampai akhir dari perlombaan
Kristen kita. Kata HUPOSTASIS, yang di sini kami terjemahkan
‘keyakinan’, dari HUPO, ‘di bawah’, dan HISTEMI, ‘menempatkan atau berdiri’,
sebetulnya berarti suatu dasar atau fondasi; di atas mana sesuatu yang lain
didirikan, dan dengan mana itu ditopang. Iman mereka kepada Yesus Kristus adalah HUPOSTASIS atau fondasi ini; pada
itu semua damai, penghiburan, dan keselamatan mereka dibangun. Jika ini tidak dipegang teguh sampai akhir, Kristus, dalam
pengaruh-pengaruh penyelamatanNya, tidak bisa dipegang teguh; dan tanpa
Kristus, tak ada surga. Ia yang mempunyai Kristus di dalam dirinya,
mempunyai pengharapan kemuliaan yang mempunyai dasar yang baik; dan ia yang
didapati pada hari yang besar itu dengan Kristus dalam hatinya akan mempunyai
jalan masuk yang berlimpah-limpah ke dalam kemuliaan kekal.].
Lenski (tentang Ibr 3:6): “Many people feel firmly confident and assured and do
a lot of hoping in their hearts but lack the actual divine realities; an awful
disappointment awaits them in the end. Not so we; we have the realities if only, as one should expect (ἐάν), we hold them
fast.” [= Banyak orang
merasa yakin dan terjamin dengan teguh dan sangat berharap dalam hati mereka
tetapi kekurangan realita-realita ilahi yang sungguh-sungguh; suatu kekecewaan
yang sangat besar menanti mereka pada akhirnya. Kita tidak demikian; kita
mempunyai realita-realita jika saja, seperti orang harapkan (EAN) kita memegang mereka dengan teguh.].
Catatan: EAN = if only = jika saja / hanya jika.
Lenski (tentang Ibr 3:12): “‘A wicked heart of unbelief in apostatizing from the
living God’ is plain language. ... The trouble of unbelief is always in the
heart, the seat of the will. Both the adjective ‘wicked’ and the stronger
attributive genitive ‘of unbelief’ characterize ‘heart.’ Note well that ‘a
heart of unbelief’ is ever wicked, for no greater wickedness exists than
unbelief, a fact which so many fail to perceive. ‘See to it’ = watch over each
other; it would be terrible if someone among you should have such a heart. The ἐν clause defines
the unbelief as to its making the heart so wicked; it states wherein the
wickedness of the heart consists: ‘in apostatizing from the living God.’ That
is what ἀποστῆναι means; the noun
is ἀποστασία, ‘apostasy’ (see 2 Thess. 2:3). The aorist infinitive
expresses actuality, definiteness. ‘Unbelief’ is thus understood in the sense
of once having believed in the living God and then having turned away from him.” [= ‘Suatu hati yang jahat dari ketidak-percayaan
dalam murtad dari Allah yang hidup’ merupakan bahasa yang jelas. ... Problem
dengan ketidak-percayaan selalu ada dalam hati, kedudukan / pusat dari
kehendak. Baik kata sifat ‘jahat’ maupun genitif pemodifikasi yang lebih kuat
‘dari ketidakpercayaan’ merupakan ciri dari ‘hati’. Perhatikan dengan baik
bahwa ‘suatu hati dari ketidak-percayaan’ selalu adalah jahat, karena tak ada
kejahatan yang ada yang lebih besar dari pada ketidak-percayaan, suatu fakta
yang begitu banyak orang gagal untuk mengerti. ‘Waspadalah / perhatikanlah /
usahakanlah’ = berjaga-jagalah satu terhadap yang lain; akan merupakan sesuatu
yang sangat buruk jika seseorang dari kamu mempunyai hati seperti itu. Anak
kalimat EN menunjukkan ketidakpercayaan sehingga itu membuat hati begitu jahat;
itu menyatakan dalam mana kejahatan dari hati itu ada: ‘dalam / dengan murtad
dari Allah yang hidup’. Itu adalah arti dari APOSTENAI; kata bendanya adalah
APOSTASIA, ‘kemurtadan’ (lihat 2Tes 2:3). Infinitif bentuk lampau
menyatakan sesuatu yang sungguh-sungguh, kepastian / ketertentuan. Jadi ‘ketidakpercayaan’ dimengerti dalam arti sekali pernah
percaya kepada Allah yang hidup dan lalu berbalik / murtad dari Dia.].
Lenski (tentang Ibr 3:14): “‘Hold fast as firm to the end’ repeats this wording
from v. 6. The thing to hold fast is ‘the beginning of the confidence’ which
made us and still makes us sharers with Christ. ... The idea is that of the
true and noble beginning and of an equal end. If the end truly matches the
beginning, we shall then be what we are now. ... The saddest thing in the world
is to see a noble beginning made in the Christian faith and then to have this
lost before the end arrives.” [= ‘Memegang
teguh sampai akhir’ mengulangi cara menyatakan kata-kata dari ay 6. Hal yang
harus dipegang teguh adalah ‘permulaan dari keyakinan’ yang membuat kita dan
tetap membuat kita pengambil-pengambil bagian dengan Kristus. ... Gagasannya
adalah tentang permulaan yang benar dan mulia dan tentang suatu akhir yang
setara / sama. Jika akhirnya sungguh-sungguh cocok
dengan permulaannya, maka kita akan menjadi seperti apa kita sekarang.
... Hal yang paling menyedihkan di dunia adalah
melihat suatu permulaan yang mulia dibuat dalam iman Kristen dan lalu
kehilangan ini sebelum akhir itu tiba.].
Barnes’ Notes (tentang Ibr 3:6): “‘If we hold fast.’ A leading object of
this Epistle is to guard those to whom it was addressed against the danger of
apostasy. Hence, this is introduced on all suitable occasions, and the apostle
here says, that the only evidence which they could
have that they belonged to the family of Christ, would be that they held fast
the confidence which they had unto the end. If they did not do that, it would demonstrate that they never
belonged to his family, for evidence of having belonged to his household was to
be furnished only by perseverance to the end.” [= ‘Jika kita berpegang teguh’. Suatu tujuan yang
utama / penting dari Surat ini adalah menjaga mereka bagi siapa surat ini
ditujukan terhadap bahaya kemurtadan. Jadi, ini dinyatakan pada semua
kesempatan yang cocok, dan di sini sang rasul berkata bahwa satu-satunya bukti yang bisa mereka punyai bahwa mereka
termasuk dalam keluarga Kristus, adalah bahwa mereka memegang teguh keyakinan
yang mereka miliki sampai akhir. Jika
mereka tidak melakukan itu, itu menunjukkan bahwa mereka tidak pernah termasuk
dalam keluargaNya, karena bukti tentang telah termasuk dalam keluargaNya harus diberikan
hanya dengan ketekunan sampai akhir.].
Barnes’ Notes (tentang Ibr 3:12): “‘An evil heart of unbelief.’ ... An unbelieving heart
was the cause of ‘their’ apostasy, and what worked their ruin will produce
ours. The root of their evil was ‘a want of confidence in God’ - and this is
what is meant here by a heart of unbelief. The great difficulty on earth
everywhere is a ‘want of confidence in God’ - and this has produced all the
ills that man has ever suffered. It led to the first apostasy; and it has led
to every other apostasy - and will continue to produce the same effects to the
end of the world. ... ‘In departing from the living
God.’ Manifested in departing from him; or leading to a departure from him. The
idea is, that such a heart of unbelief would be connected with apostasy from
God. All apostasy first exists in the heart, and then is manifested in the
life. They who indulge in unbelief in any form, or in regard to any subject,
should remember that this is the great source of all alienation from God, and
that if indulged it will lead to complete apostasy.” [= ‘Suatu hati yang jahat dari ketidakpercayaan’. ...
Suatu hati yang tidak percaya adalah penyebab dari
kemurtadan mereka, dan apa yang mengerjakan kehancuran mereka akan
menghasilkan kehancuran kita. Akar dari kejahatan
mereka adalah ‘suatu kekurangan tentang keyakinan kepada Allah’ - dan ini
adalah apa yang dimaksudkan di sini dengan suatu hati dari ketidakpercayaan.
Kesukaran yang besar di bumi dimana-mana adalah suatu ‘kekurangan keyakinan
kepada Allah’ - dan ini telah menghasilkan semua hal buruk yang pernah manusia
alami. Itu membimbing pada kemurtadan yang pertama; dan itu telah membimbing
pada setiap kemurtadan yang lain - dan itu akan terus menghasilkan hasil yang
sama sampai akhir jaman. ... ‘Dalam kepergian /
kemurtadan dari Allah yang hidup’. Dinyatakan dalam meninggalkan dari Dia; atau
mengarah pada suatu kepergian / kemurtadan dari Dia. Gagasannya adalah, bahwa suatu hati dari ketidakpercayaan seperti
itu berhubungan dengan kemurtadan dari Allah. Semua kemurtadan pertama-tama ada
dalam hati, dan lalu dinyatakan dalam kehidupan. Mereka yang menuruti / membiarkan ketidakpercayaan dalam bentuk apapun, atau berkenaan dengan
pokok apapun, harus mengingat bahwa ini
adalah sumber yang besar dari semua tindakan mengasingkan diri dari Allah, dan
bahwa jika dituruti / dibiarkan itu akan membimbing pada kemurtadan sepenuhnya.].
Barnes’ Notes (tentang Ibr 3:14): “‘If we hold the beginning of our
confidence steadfast.’ ... If we continue to maintain
the same confidence which we had in the beginning, or which we showed at
the commencement of our Christian life. At first, they had been firm in the
Christian hope. They evinced true and strong attachment to the Redeemer. They
were ardent and devoted to his cause. If they
continued to maintain that to the end, that is, the end of life; if in the
midst of all temptations and trials they adhered inflexibly to the cause of the
Saviour, they would show that they were true Christians, and would partake of
the blessedness of the heavenly world with the Redeemer. The idea is, that it is only perseverance in the ways of
religion that constitutes certain evidence of piety. Where piety is manifested through life, or where there is an
untiring devotion to the cause of God, there the evidence is clear and
undoubted. But where there is at first
great ardor, zeal, and confidence, which soon dies away, then it is clear that
they never had any real attachment to him and his cause. It may be remarked here, that the ‘beginning of the
confidence’ of those who are deceived, and who know nothing about religion at
heart, is often as bold as where there is true piety. The hypocrite makes up in
ardor what he lacks in sincerity; and he who is really deceived, is usually
deceived under the influence of some strong and vivid emotion, which he
mistakes for true religion. Often the sincere convert is calm, though
decided, and sometimes is even timorous and doubting; while the self-deceiver
is noisy in profession, and clamorous in his zeal, and much disposed to blame
the lukewarmness of others. Evidence of piety,
therefore, should not be built on that early zeal; nor should it be concluded
that because there is ardor, there is of necessity genuine religion. Ardor is
valuable, and true religion is ardent; but there is other ardor than what the
gospel inspires. The evidence of genuine
piety is to be found in what will bear us up under trials, and endure amidst
persecution and opposition. The doctrine here is, that it is necessary to
persevere if we would have the evidence of true piety.” [= ‘Jika kita memegang teguh permulaan dari keyakinan
kita’. ... Jika kita terus mempertahankan keyakinan yang sama yang kita miliki
pada permulaan, atau yang kita tunjukkan pada permulaan dari kehidupan Kristen
kita. Mula-mula, mereka telah teguh dalam pengharapan Kristen. Mereka
membuktikan kedekatan / kesetiaan yang benar dan kuat kepada sang Penebus.
Mereka bersemangat / berkobar-kobar dan berbakti pada perkaraNya. Jika mereka terus mempertahankan itu sampai akhir, yaitu
akhir dari kehidupan; jika di tengah-tengah semua pencobaan dan ujian mereka
melekat dengan tidak menyerah pada perkara dari sang Juruselamat, mereka
menunjukkan bahwa mereka sungguh-sungguh adalah orang-orang Kristen, dan akan
ikut ambil bagian dari kebahagiaan / keadaan diberkati dari dunia surgawi
bersama dengan sang Penebus. Gagasannya
adalah, bahwa hanya ketekunan dalam jalan-jalan agama yang membentuk bukti
tertentu dari kesalehan. Dimana kesalehan dinyatakan melalui kehidupan, atau
dimana di sana ada suatu pembaktian yang tak kenal lelah pada perkara dari
Allah, di sana buktinya adalah jelas dan tak diragukan. Tetapi dimana di sana pertama-tama ada kehangatan, semangat,
dan keyakinan yang besar, yang segera mati / lenyap, maka adalah jelas bahwa
mereka tidak pernah mempunyai kedekatan yang sungguh-sungguh apapun kepadaNya
dan perkaraNya. Bisa diperhatikan di sini,
bahwa ‘permulaan dari keyakinan’ dari mereka yang ditipu, dan yang tak
mengetahui apapun tentang agama dalam hati, sering sama beraninya seperti
dimana di sana ada kesalehan yang benar. Orang munafik membuat-buat dalam
kehangatan / semangat apa yang ia tidak miliki dalam ketulusan; dan ia yang
betul-betul ditipu, biasanya ditipu di bawah pengaruh dari emosi yang kuat dan
kelihatannya hidup, yang ia salah pahami sebagai agama yang benar. Seringkali
petobat yang tulus bersikap tenang, sekalipun pasti / jelas, dan kadang-kadang
bahkan takut-takut dan ragu-ragu; sedangkan penipu diri sendiri ribut dalam
pengakuan, dan ribut dalam semangat, dan sangat condong untuk menyalahkan
kesuaman dari orang-orang lain. Karena itu, bukti dari
kesalehan tidak boleh dibangun pada semangat awal itu; atau disimpulkan bahwa
karena di sana ada semangat, di sana pasti ada agama yang asli. Semangat itu
berharga, dan agama yang benar bersemangat; tetapi di sana ada semangat yang
lain dari pada yang diberikan / dibangkitkan oleh injil. Bukti dari
kesalehan yang asli harus ditemukan dalam apa yang akan menahan kita di bawah
ujian-ujian / pencobaan-pencobaan, dan bertekun di tengah-tengah penganiayaan
dan oposisi. Doktrin / ajaran di sini adalah, bahwa adalah perlu untuk bertekun
jika kita mempunyai bukti dari kesalehan yang benar.].
-bersambung-
