Perseverance Of The Saints (9) (Ketekunan Orang-Orang Kudus)
Pdt.Budi Asali, M.Div.
Ada penafsir-penafsir yang kelihatannya menggabungkan kedua
arti di atas.
Barclay: “Jesus Christ
cannot vouch in eternity for a man who has refused to have anything to do with
him in time; but he is for ever true to the man who, however much he has
failed, has tried to be true to him.” [= Yesus Kristus tidak bisa menjamin dalam
kekekalan bagi seseorang yang telah menolak untuk mempunyai urusan apapun
dengan Dia dalam waktu; tetapi Ia selama-lamanya setia kepada orang yang
bagaimanapun hebatnya ia telah gagal, telah berusaha untuk setia kepada Dia.] - hal 170.
The Preacher’s Commentary Series (vol 32): “We
would expect the hymn to repeat the parallel in its conclusion to the effect
that if we are faithless, God is faithless. But notice the dramatic shift: ‘If we are faithless, He remains faithful; He
cannot deny Himself.’ Because of this shift, the meaning is not easy to
pin down. On the one hand, it might appear that God’s faithfulness, ‘no matter
what,’ offsets the fear engendered by the thought of Jesus’ denial of us. If
pressed, this leads to a concept of unconditional love on God’s part in which,
ultimately, our actions have no lasting consequence. God will always tidy up
our messes. On the other hand, this statement can be read as a statement of
dreadful finality. His faithfulness is to Himself. Thus, as our denial of Him
results in His denial of us, so our faithlessness to Him results in His
faithfulness to Himself - which is to judge us for our infidelity. I don’t
think we have to get pressed to either extreme. Don’t forget that this was
likely a hymn, not a theological treatise. I’m satisfied that both notes need
to be sounded. Denial and infidelity, in their many forms, must be taken
seriously. Grace and unconditional love must never be distorted to mean that
our actions do not have meaning or consequences. We must be responsible for our
conduct - with God and with others. In this sense God’s faithfulness must mean
that He cannot contradict Himself. The God of love and mercy is also the God of
justice and righteousness. The prophet Hosea is the classic spokesman to this
problem. He saw clearly the denial and faithlessness of the people of God. He
boldly portrayed Israel’s behavior in terms of his own unfaithful wife. God is
seen both as bringing judgment upon Israel and as finally wooing and winning
her back. ‘How can I give you up, Ephraim? How can I hand you over, Israel?… I
will not execute the fierceness of My anger… for I am God, and not man’ (Hos.
11:8–9). Paul’s words to the Corinthians seem to say the same thing. In 1
Corinthians 3:11–15, he portrays the Christian life as building upon the
foundation which is Jesus Christ. The deeds of our lives are likened to ‘gold,
silver, precious stones, wood, hay, straw.’ In our final accounting to God, our
works will be tested by fire - some will endure, some will be consumed as
worthless. But Paul’s conclusion affirms God’s ultimate mercy: ‘If anyone’s
work is burned, he will suffer loss; but he himself will be saved, yet so as
through fire’ (1 Cor. 3:15). I
take this to be bad news and good news. For God to be faithful to Himself, our
behavior must have meaning, and that means that our actions have consequences
that God Himself will not abridge. But God also promises us salvation in
Christ. Whether or not our works endure the test of fire, in Christ we will be
saved. The central motive for faithfulness to God is not the fear of being
rejected by God. The driving force for fidelity to God is the positive desire
to please the One who loves us so!” [= Kita akan mengharapkan nyanyian pujian ini
untuk mengulang keparalelan dalam kesimpulannya kira-kira dengan sesuatu yang
berarti bahwa jika kita tidak setia, Allah juga tidak setia. Tetapi perhatikan
pergeseran yang dramatis: ‘Jika kita tidak setia, Ia tetap setia; Ia tidak
dapat menyangkal diriNya sendiri’. Karena pergeseran ini, artinya tidak mudah
untuk dipastikan. Di satu
pihak, bisa terlihat bahwa kesetiaan Allah, ‘tak peduli apapun yang terjadi’,
mengimbangi rasa takut yang ditimbulkan oleh pemikiran tentang penyangkalan
Yesus terhadap kita. Jika ditekankan, ini membimbing pada suatu konsep tentang
kasih yang tak bersyarat di pihak Allah dalam mana, pada akhirnya,
tindakan-tindakan kita tidak mempunyai konsekwensi yang abadi. Allah akan
selalu membereskan kekacauan-kekacauan kita. Di lain pihak, pernyataan ini bisa dibaca sebagai suatu pernyataan
tentang akhir yang menakutkan. KesetiaanNya adalah kepada diriNya sendiri.
Jadi, seperti penyangkalan kita terhadap Dia mengakibatkan penyangkalanNya
terhadap kita, demikianlah ketidak-setiaan kita kepadaNya mengakibatkan dalam
kesetiaanNya kepada diriNya sendiri - yang harus menghakimi kita untuk
ketidak-setiaan kita. Saya
tidak berpikir / menganggap kita harus menekankan extrim yang manapun. Jangan
lupa bahwa ini mungkin sekali adalah suatu nyanyian pujian, bukan suatu buku /
karangan theologia. Saya yakin bahwa kedua catatan perlu untuk dibunyikan.
Penyangkalan dan ketidak-setiaan, dalam bentuk-bentuk mereka yang banyak, harus
dipandang secara serius. Kasih karunia dan kasih yang tak bersyarat tidak
pernah boleh diubah / disimpangkan untuk berarti bahwa tindakan-tindakan kita
tidak mempunyai arti atau konsekwensi-konsekwensi. Kita harus bertanggung jawab
untuk tingkah laku kita - dengan Allah dan dengan orang-orang lain. Dalam arti
ini kesetiaan Allah harus berarti bahwa Ia tidak bisa menentang diriNya
sendiri. Allah dari kasih dan belas kasihan juga adalah Allah dari keadilan dan
kebenaran. Nabi Hosea adalah jurubicara klasik bagi problem ini. Ia melihat
dengan jelas penyangkalan dan ketidak-setiaan dari umat Allah. Ia dengan berani
menggambarkan kelakuan Israel dalam istilah-istilah dari istrinya sendiri yang
tidak setia. Allah terlihat baik sebagai membawa penghakiman atas Israel dan
akhirnya sebagai membujuk dan memenangkan ia kembali. ‘Bagaimana Aku bisa
menyerahkan engkau, Efraim? Bagaimana Aku bisa menyerahkan engkau, Israel? ...
Aku tidak akan melaksanakan keganasan murkaKu ... sebab Aku ini Allah, dan
bukan manusia’ (Hos 11:8-9). Kata-kata Paulus kepada orang-orang / jemaat
Korintus kelihatannya mengatakan hal yang sama. Dalam 1Kor 3:11-15, ia
menggambarkan kehidupan Kristen seperti membangun di atas fondasi yang adalah
Yesus Kristus. Tindakan-tindakan / perbuatan-perbuatan dari kehidupan kita
disamakan dengan ‘emas, perak, batu-batu berharga, kayu, rumput kering,
jerami’. Dalam pertanggungan jawab akhir kita kepada Allah, pekerjaan-pekerjaan
kita akan diuji dengan api - sebagian akan bertahan, sebagian akan dihabiskan
sebagai tidak berharga. Tetapi
kesimpulan Paulus menegaskan belas kasihan terakhir dari Allah: ‘Jika
pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan
diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.’ (1Kor 3:15). Saya mengartikan ini sebagai kabar buruk dan kabar baik.
Bagi Allah untuk setia kepada diriNya sendiri, kelakuan kita harus mempunyai arti,
dan itu berarti bahwa tindakan-tindakan kita mempunyai konsekwensi-konsekwensi
yang Allah sendiri tidak akan / mau mengurangi. Tetapi Allah juga menjanjikan
kita keselamatan dalam Kristus. Apakah pekerjaan-pekerjaan kita bertahan dari
ujian api itu, dalam Kristus kita akan diselamatkan. Motivasi sentral untuk
kesetiaan kepada Allah bukanlah rasa takut untuk ditolak oleh Allah. Kekuatan
yang mendorong untuk kesetiaan kepada Allah adalah keinginan yang positif untuk
menyenangkan Dia yang mengasihi kita seperti itu!] - hal 268-269 (Libronix).
Hos 11:8-9 - “(8) Masakan Aku membiarkan engkau, hai
Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel? Masakan Aku membiarkan engkau seperti
Adma, membuat engkau seperti Zeboim? HatiKu berbalik dalam diriKu, belas
kasihanKu bangkit serentak. (9) Aku tidak akan melaksanakan murkaKu yang
bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab Aku ini Allah
dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak datang untuk
menghanguskan.”.
1Kor 3:11-15 - “(11) Karena tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain
dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. (12) Entahkah orang
membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput
kering atau jerami, (13) sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan
nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api
dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. (14) Jika
pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. (15) Jika
pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan
diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.”.
Saya tidak setuju dengan tafsiran yang menggabungkan kedua
pandangan itu seperti ini. Saya berpendapat Paulus pasti memaksudkan pandangan yang
pertama atau yang kedua. Tidak mungkin keduanya. Dan saya memilih yang kedua. Dengan
demikian text ini (2Tim 2:13) bukannya menentang doktrin ‘Perseverance of the Saints’ [= Ketekunan orang-orang kudus],
tetapi malah mendukungnya!!!
Satu hal yang harus saya tambahkan adalah:
bahkan William Hendriksen (dan banyak orang lain) yang mempercayai tafsiran
pertama, tidak mempercayai bahwa ayat ini
menunjukkan kalau keselamatan bisa hilang. Ia
menganggap bahwa orang-orang yang tidak setia itu tidak pernah percaya dengan
sungguh-sungguh. Mereka bukan kehilangan keselamatan mereka, tetapi mereka
tidak pernah diselamatkan!
William Hendriksen: “Having
stated in the first two lines what will happen to those who endure or are
willing to endure hardship even to violent death, the last two lines of the
quoted portion of the hymn take up the case of those who, having confessed
Christ (at least with the lips), become disloyal to him. ‘If we shall deny (cf. I Tim. 5:8) him, he on his
part will also deny us.’ When a person, because of unwillingness to suffer
hardship for the sake of Christ and his cause, disowns the Lord (‘I do not know the man!’), then, unless he
repents, he will be disowned by
the Lord in the great day of judgment (‘I do not know you’).” [= Setelah menyatakan dalam dua baris pertama apa
yang akan terjadi dengan mereka yang bertahan atau mau menahan kesukaran bahkan
sampai pada kematian yang hebat / bengis, dua baris terakhir dari bagian
kutipan nyanyian pujian itu membahas kasus dari mereka yang, setelah mengakui Kristus (sedikitnya dengan bibir), menjadi
tidak setia kepadaNya. ‘Jika kita menyangkal (bdk. 1Tim 5:8) Dia, Ia
juga akan menyangkal kita’. Pada waktu seseorang, karena
ketidakmauan untuk menderita kesukaran / kekerasan demi Kristus dan perkaraNya,
menyangkal Tuhan (‘Aku tidak mengenal Orang itu!’), maka, kecuali ia bertobat, ia akan
disangkal oleh Tuhan pada hari penghakiman yang besar (‘Aku tidak mengenal
kamu’).].
Orang yang menyangkal Kristus secara permanen tidak
mungkin adalah orang kristen yang sejati!
g) Ibr 2:1-4 - “(1) Karena itu harus lebih teliti kita memperhatikan apa yang telah kita dengar, supaya kita
jangan hanyut dibawa arus. (2) Sebab kalau firman yang dikatakan
dengan perantaraan malaikat-malaikat tetap berlaku, dan setiap pelanggaran dan
ketidaktaatan mendapat balasan yang setimpal, (3) bagaimanakah kita akan
luput, jikalau kita menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar itu, yang mula-mula
diberitakan oleh Tuhan dan oleh mereka yang telah mendengarnya, kepada kita
dengan cara yang dapat dipercayai, sedangkan (4) Allah meneguhkan kesaksian
mereka oleh tanda-tanda dan mujizat-mujizat dan oleh berbagai-bagai penyataan
kekuasaan dan karena Roh Kudus, yang dibagi-bagikanNya menurut kehendakNya.”.
Kata ‘menyia-nyiakan’ dalam ay 3 diterjemahkan:
KJV/RSV/NASB/ASV/NKJV: ‘neglect’ [= mengabaikan].
NIV: ‘ignore’ [=
mengabaikan].
Sebetulnya ini sudah menunjukkan bahwa ayat ini tidak berbicara tentang orang kristen yang sejati
yang lalu terhilang, tetapi berbicara tentang orang yang memperhatikan Injil dengan tidak sungguh-sungguh,
dan mengabaikannya!!! Ia bukan kehilangan keselamatan, tetapi tidak
pernah selamat.
Tetapi mari kita melihat
bagaimana Pdt. Jusuf B. S. menafsirkan text ini.
Pdt. Jusuf B. S.: “Jangan
melalaikan kesempatan yang sudah didapat. Ibr 2:3 - ‘Bagaimanakah kita akan
luput, jikalau kita menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar itu (ada
kesempatan, keselamatan tidak ditentukan lebih dahulu), yang mula-mula
diberitakan oleh Tuhan dan oleh mereka yang telah mendengarnya, kepada kita
dengan cara yang dapat dipercayai.’ Benih Firman
Tuhan yang masuk dan sudah tumbuh itu berarti sudah selamat! Tetapi benih iman
yang sudah tumbuh jadi besar dan segar bisa mati kembali! Sebab itu
kesempatan ini janganlah disia-siakan.” - ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 46.
Saya tak bisa melihat dari
text itu dari mana ia mengatakan benih Firman Tuhan itu masuk dan sudah tumbuh,
dan ia artikan itu sebagai ‘sudah selamat’! Ay 3 memang mengatakan ‘telah mendengarnya’, tetapi peringatan untuk
memperhatikan dengan lebih teliti dalam ay 1, dan juga kata-kata ‘menyia-nyiakan / mengabaikan
keselamatan yang sebesar itu’ dalam ay 3, jelas mengharuskan kita untuk
menafsirkan bahwa orang itu mendengar firman dengan tidak sungguh-sungguh / tidak
serius! Bahkan Adam Clarke dan Lenski, yang adalah orang-orang Arminian, menafsirkan
seperti ini!
Adam
Clarke (tentang Ibr 2:1): “Superficial hearers lose the benefit of the word preached, as the unseasoned vessel
does its fluid; nor can anyone hear to the saving of his soul, unless he give
most earnest heed, which he will not do unless he consider the dignity of the
speaker, the importance of the subject, and the absolute necessity of the
salvation of his soul.” [=
Pendengar-pendengar yang dangkal / luaran
kehilangan manfaat dari firman yang diberitakan, seperti bejana yang tak
dibumbui (?) kehilangan cairannya; juga siapapun tidak
bisa mendengar sehingga menyelamatkan jiwanya, kecuali ia memberikan perhatian
yang sungguh-sungguh, yang ia tidak akan lakukan, kecuali ia
mempertimbangkan kewibawaan dari si pembicara, kepentingan dari pokok itu, dan
kebutuhan mutlak dari keselamatan jiwanya.].
Adam
Clarke (tentang Ibr 2:3): “Those
who neglect it, ameleesantes,
are not only they who oppose or persecute it, but they who pay no regard to it;
who do not meddle with it, do not concern themselves about it, do not lay it to
heart, and consequently do not get their hearts changed by it. Now these cannot
escape the coming judgments of God; not merely because they oppose his will and
commandment, but because they sin against the very cause and means of their
deliverance. As there is but one remedy by which their diseased souls can be
saved, so by refusing to apply that one remedy they must necessarily perish.” [= Mereka yang mengabaikannya, AMELESANTES, bukanlah hanya mereka
yang menentang atau menganiayanya, tetapi juga mereka
yang tidak menghargainya; yang tidak mau tahu dengannya, tidak mempedulikannya,
tidak memasukkannya ke dalam hati, dan karena itu tidak mendapatkan
hati yang diubahkan olehnya. Orang-orang ini tidak bisa lolos dari penghakiman
Allah yang mendatang; bukan semata-mata karena mereka menentang kehendak dan
perintah / hukumNya, tetapi karena mereka berdosa
terhadap penyebab dan jalan / cara dari pembebasan mereka. Karena
disana hanya ada satu obat dengan mana jiwa mereka yang sakit bisa
diselamatkan, maka dengan menolak untuk menggunakan
obat yang satu itu mereka pasti binasa.].
Lenski
(tentang Ibr 2:1): “The writer lets the facts
concerning the incomparable greatness of the Son (chapter 1) merge into a
strong warning for his readers. This is a warning and not merely an admonition.
His word grips the hearts with the same firmness with which he grips the facts.
The warning is only somewhat softened by the inclusion of himself, for the
readers and not he are showing signs of defection.” [= Penulis
membiarkan fakta-fakta berkenaan dengan kebesaran yang tak tertandingi dari
Anak (pasal 1) bersatu / bercampur ke dalam suatu peringatan yang kuat bagi
para pembacanya. Ini adalah suatu peringatan dan bukan semata-mata suatu
nasehat. Kata-katanya mencengkeram hati dengan keteguhan yang sama dengan mana
ia mencengkeram fakta-fakta. Peringatan ini hanya agak dilunakkan dengan
pemasukan dirinya sendiri, karena para pembaca dan bukan dia, yang di sini
sedang menunjukkan tanda-tanda penyimpangan.].
Lenski
(tentang Ibr 2:1): “‘For
this reason (presented at length in chapter 1)
it is necessary the more earnestly to
give heed to the things that were heard (by us) lest we ever get to be drifted past (them).’ This danger calls for
the warning. ‘The more earnestly’ (abundantly) = because these things were
spoken to us by God, not only in the person of his prophets, but also in the
person of his Son (1:1, 2), and because the danger of drifting past them has
already appeared.” [=
‘Karena alasan ini (diberikan panjang lebar dalam pasal 1) adalah perlu untuk dengan lebih sungguh-sungguh memperhatikan
pada hal-hal yang telah didengar (oleh kita) supaya jangan kita hanyut melewati
(mereka)’. Bahaya ini memerlukan peringatan. ‘Dengan lebih sungguh-sungguh’
(secara berlimpah-limpah) = karena hal-hal ini diucapkan kepada kita oleh
Allah, bukan hanya melalui nabi-nabiNya, tetapi juga melalui AnakNya (1:1,2),
dan karena bahaya dari hanyut melewati mereka telah terlihat.].
Pulpit Commentary: “To drift away
from Christ is fearfully possible. It is so: 1. Because
the soul is not always moored to Christ when it is brought to Christ.
We regard it a doctrine of the New Testament that the true believer cannot be
lost, that the salvation which on faith in Christ he receives is for ever, the
might of Christ to supply all that is necessary to salvation being the warrant
of it. Why, then, are these professing Christians warned against drifting away
from Christ? It is possible to be brought to Christ
without being anchored to him. A number of influences may lead one
close to the Redeemer, between whom and Christ there is, nevertheless, no vital
union, and as long as the tide runs that way his safety may not be suspected
even by himself, but let the tide turn and his lack of union becomes apparent
and he may drift away and be lost. 2. Because powerful adverse currents tend to
carry the soul from the Saviour. Sometimes the current leads toward Christ. ...
But it is not always that way; difficulties occur, winds of temptation blow,
the tide of worldly custom runs high, the unseen force of depraved inclination
gathers power; and then, however strong the cable, however firmly it may bind
shore and ship together, it will creak and strain, and every fibre of it be
needed to hold the ship in safety. But what if there
be no cable, no vital faith, in that day? Then the soul will inevitably part
company with Christ, leaving the harbour where it has lain so long, and be seen
drifting away. 3. Because the departure of the soul from Christ may
be for some time imperceptible. Drifting away is a departure silent, gradual,
unnoticeable. At sunset the ship is close to shore and all is safe; without a
warning it drops into the tide, and swings round, and with no sound but the
ripple of the water is carried down the stream to the open sea, and the crew
may sleep through it all. So, departure from Christ may be as involuntary and
quiet as that; a silent, ceaseless, unconscious creeping back to old habits.
There is its danger. Drifting away means leaving Christ without knowing it,
till we find ourselves far out at sea, and a tide we cannot resist bearing us
still further away. You have seen men who were once close to Christ, but whilst
they slept they have unconsciously glided away, and by the current of
worldliness been carried into the rapids and whirled along faster and faster,
only waking to stare wildly at their helplessness, and close hands and eyes in
despair for the final plunge into the eternal gulf.” [= Hanyut dari Kristus adalah
sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Ini disebabkan: 1. Karena seseorang tidak
selalu tertambat kepada Kristus pada waktu ia dibawa kepada Kristus.
Kami menganggap ini sebagai doktrin dari Perjanjian Baru bahwa orang percaya yang sejati tidak bisa
terhilang, bahwa keselamatan
yang ia terima karena iman dalam Kristus adalah untuk selamanya, kekuatan
Kristus untuk menyuplai semua yang diperlukan untuk keselamatan merupakan
jaminan untuk hal itu. Lalu mengapa orang-orang yang mengaku Kristen
ini diperingatkan supaya tidak hanyut dari Kristus? Adalah
mungkin untuk dibawa kepada Kristus tanpa
dijangkarkan kepada Dia. Banyak pengaruh bisa membawa seseorang dekat
kepada Sang Penebus sekalipun antara dia dan Kristus tidak ada persatuan yang hidup, dan selama air
pasang mendorongnya ke arah itu keselamatannya tidak akan dicurigai bahkan oleh
dirinya sendiri, tetapi pada waktu air surut maka ketidakadaan persatuan ini
akan menjadi nyata dan ia akan hanyut dan terhilang. 2. Karena arus kuat yang
melawan cenderung memisahkan seseorang dari Sang Juruselamat. Kadang-kadang
arus membawa kepada Kristus. ... Tetapi tidak selalu seperti itu;
kesukaran-kesukaran terjadi, angin pencobaan bertiup, air pasang dari kebiasaan
duniawi naik, kekuatan yang tak terlihat dari kecenderungan yang bejat
mengumpulkan kekuatan; dan lalu, betapapun kuat kabelnya, betapapun teguhnya
kabel itu mengikatkan kapal ke pantai, kabel itu akan berderik-derik dan
menegang, dan setiap serat dari kabel itu dibutuhkan untuk menahan kapal itu
dengan aman. Tetapi bagaimana jika di sana tidak ada kabel, tidak ada iman yang hidup,
pada saat itu? Maka tidak bisa tidak orang itu akan terpisah dari
Kristus, meninggalkan pelabuhan dimana ia sudah terletak begitu lama, dan
terlihat hanyut. 3. Karena tindakan meninggalkan dari seseorang
terhadap Kristus bisa untuk beberapa waktu tidak kelihatan / tidak terasa.
Hanyut adalah suatu kepergian yang tenang, perlahan-lahan, tak terlihat. Pada
saat matahari terbenam kapal dekat dengan pantai dan semua aman; tanpa
peringatan kapal itu masuk ke dalam air pasang, dan terombang-ambing, dan tanpa
ada bunyi kecuali riak dari air, ia dibawa arus ke laut lepas, dan anak buah
kapal mungkin tidur selama itu. Begitu juga, meninggalkan Kristus bisa sama tak
disengajanya dan sama tenangnya seperti itu; tindakan merangkak yang tenang,
terus menerus, tak disadari, mengembalikan kita kepada kebiasaan-kebiasaan lama.
Itulah bahayanya. Hanyut dari Kristus berarti meninggalkan Kristus tanpa
mengetahuinya, sampai kita mendapatkan diri kita jauh di laut, dan air pasang
yang tak bisa kita lawan membawa kita lebih jauh lagi. Engkau telah melihat
orang-orang yang suatu saat pernah dekat dengan Kristus, tetapi sementara
mereka tidur secara tak disadari mereka meluncur pergi, dan oleh arus
keduniawian dibawa ke dalam aliran yang deras dan dihanyutkan makin lama makin
cepat, dan pada waktu mereka bangun mereka memandang dengan bingung pada
keadaan mereka yang tanpa harapan, dan melipat tangan dan menutup mata dalam
keputus-asaan untuk loncatan terakhir ke dalam jurang yang kekal.] - hal 68.
Jelas bahwa penulis dari
Pulpit Commentary di atas ini mengatakan orang kristen yang sejati tidak
mungkin hanyut. Yang bisa hanyut hanyalah orang-orang yang kelihatannya saja
kristen.
Matthew Henry
(tentang Ibr 2:1): “‘Therefore
we ought to give the more diligent heed to the things which we have heard,’ v.
1. This is the first way by which we are to show our esteem of Christ and of
the gospel. It is the great concern of every one under the gospel to give the
most earnest heed to all gospel discoveries and directions, to prize them
highly in his judgment as matters of the greatest importance, to hearken to
them diligently in all the opportunities he has for that purpose, to read them
frequently, to meditate on them closely, and to mix faith with them. We must
embrace them in our hearts and affections, retain them in our memories, and
finally regulate our words and actions according to them. ... This
consideration should be a strong motive both to our attention to the gospel and
our retention of it; and indeed, if we do not well attend, we shall not long
retain the word of God; inattentive hearers will soon be forgetful hearers.” [= ‘Karena itu kita harus memperhatikan
dengan lebih rajin pada hal-hal yang telah kita dengar’, ay 1. Ini adalah cara pertama dengan
mana kita harus menunjukkan penghargaan kita terhadap Kristus dan terhadap
injil. Ini
adalah perhatian / urusan besar dari setiap orang di bawah injil untuk memberi perhatian yang
paling sungguh-sungguh pada semua penyingkapan dan pengarahan injil, untuk
menghargai mereka dengan tinggi dalam penilaiannya sebagai persoalan-persoalan
yang terpenting, untuk mendengarkan mereka dengan rajin dalam semua
kesempatan-kesempatan yang ia punyai untuk tujuan itu, untuk membaca mereka
dengan sering, untuk merenungkan mereka dengan teliti, dan mencampur /
menghubungkan iman dengan mereka. Kita harus memeluk / mempercayai
mereka dalam hati dan perasaan kita, mempertahankan mereka dalam ingatan kita,
dan akhirnya mengarahkan kata-kata dan tindakan-tindakan kita sesuai dengan
mereka. ... Pertimbangan ini harus merupakan suatu motivasi yang kuat baik
untuk perhatian kita pada injil maupun untuk tindakan kita mempertahankannya;
dan memang, jika kita tidak memperhatikan dengan baik,
kita tidak akan lama mempertahankan firman Allah; pendengar-pendengar yang
tidak perhatian akan segera menjadi pendengar-pendengar yang pelupa.].
Sebelum kita membaca
tafsiran Albert Barnes tentang ayat ini mari kita melihat lagi Ibr 2:1 dan ayat
itu dalam versi KJV.
Ibr 2:1 - “Karena itu harus lebih teliti kita memperhatikan apa yang telah kita dengar, supaya kita jangan hanyut dibawa arus.”.
Ibr 2:1 (KJV): ‘Therefore we ought to give the more earnest heed to the things which we
have heard, lest at any time we should
let them slip.’ [= Karena
itu, kita harus memberi perhatian yang lebih sungguh-sungguh pada hal-hal yang
telah kita dengar, supaya jangan pada saat manapun
kita membiarkan mereka lolos dari ingatan.].
Barnes’
Notes (tentang Ibr 2:1): “‘Lest at any time.’ We
ought to attend to those things at all times. We ought never to forget them;
never to be indifferent to them. We are sometimes interested in them, and then
we feel indifferent to them; sometimes at leisure to attend to them, and then
the cares of the world, or a heaviness and dullness of mind, or a cold and
languid state of the affections, renders us indifferent to them, and they are
suffered to pass out of the mind without concern. Paul says, that this ought
NEVER to be done. At no time should we be indifferent to those things. They are
always important to us, and we should never be in a state of mind when they
would be uninteresting. At all times; in all places; and in every situation of
life, we should feel that the truths of religion are of more importance to us
than all other truths, and nothing should be suffered to efface their image
from the heart.” [= ‘Supaya jangan pada saat
manapun’.
Kita harus memperhatikan hal-hal itu pada semua
waktu / saat. Kita tidak pernah boleh melupakan mereka; tidak pernah boleh
menjadi acuh tak acuh terhadap mereka. Kita kadang-kadang berminat /
tertarik pada mereka, dan lalu kita merasa acuh tak acuh pada mereka;
kadang-kadang meluangkan waktu untuk memperhatikan mereka, dan lalu perhatian
terhadap dunia, atau suatu perasaan berat atau tumpul dari pikiran, atau suatu
keadaan dingin dan lesu / tak bersemangat dari perasaan, membuat kita menjadi
acuh tak acuh terhadap mereka, dan mereka dibiarkan untuk lewat dari pikiran
tanpa kepedulian. Paulus berkata,
bahwa ini tidak pernah boleh dilakukan. Pada saat
manapun kita tidak boleh menjadi acuh tak acuh pada hal-hal itu.
Mereka selalu penting bagi kita, dan kita tidak pernah boleh berada dalam
keadaan pikiran dimana mereka menjadi tidak menarik. Pada semua waktu; di semua tempat; dan dalam setiap situasi dari
kehidupan, kita harus merasa bahwa kebenaran-kebenaran agama adalah lebih
penting bagi kita dari pada semua kebenaran-kebenaran yang lain, dan tak ada
apapun boleh dibiarkan untuk menghilangkan gambaran / pengertian tentang mereka
dari hati.].
Catatan: Albert Barnes, dan banyak
penafsir-penafsir kuno, beranggapan bahwa Paulus adalah penulis surat Ibrani,
tetapi ini pasti salah.
Barnes’
Notes (tentang Ibr 2:1): “‘We should let them
slip.’ ... After all that has been said on the meaning of the word here ..., it seems to me that the true sense of the expression is that of
flowing, or gliding by - as a river; and that the meaning here is, that we
should be very cautious that the important truths spoken by the Redeemer and
his apostles should not be suffered to ‘glide by’ us without attention, or
without profit. We should not allow
them to be like a stream that glides on by us without benefiting us; that is,
we should endeavor to secure and retain them as our own. The truth taught, is
that there is great danger, now that the true system of religion has been
revealed, that it will not profit us, but that we shall lose all the benefit of
it.” [=
‘Kita tidak boleh membiarkan mereka lewat’. ... Setelah semua yang telah dikatakan tentang
arti dari kata itu di sini ..., kelihatan bagi saya bahwa arti yang benar dari ungkapan itu adalah
itu yang mengalir, atau berlalu - seperti sebuah sungai; dan bahwa artinya di
sini adalah, bahwa kita harus sangat berhati-hati supaya kebenaran-kebenaran
penting yang diucapkan oleh sang Penebus dan rasul-rasulNya jangan dibiarkan
melewati / melalui kita tanpa perhatian, atau tanpa manfaat. Kita
tidak boleh mengijinkan mereka menjadi seperti suatu sungai / aliran yang
melalui kita tanpa memberi manfaat kepada kita; artinya, kita harus berusaha
untuk memastikan dan mempertahankan mereka sebagai milik kita. Kebenaran yang
diajarkan, adalah bahwa disana ada bahaya yang besar, setelah sekarang sistim
agama yang benar telah dinyatakan, bahwa itu tidak akan berguna bagi kita,
tetapi bahwa kita akan kehilangan semua manfaat darinya.].
Barnes’
Notes (tentang Ibr 2:1): “This
danger may arise from many sources - some of which are the following: (1) We
may not feel that the truths revealed are important - and before their
importance is felt, they may be beyond our reach. So we are often deceived in
regard to the importance of objects - and before we perceive their value they
are irrecoverably gone. So it is often with time, and with the opportunities of
obtaining an education, or of accomplishing any object which is of value. The
opportunity is gone before we perceive its importance. So the young suffer the
most important period of life to glide away before they perceive its value, and
the opportunity of making much of their talents is lost because they did not
embrace the suitable opportunities. (2) By being engrossed in business. We feel
that THAT is now the most important thing. That claims all our attention. We
have no time to pray, to read the Bible, to think of religion, for the cares of
the world engross all the time - and the opportunities of salvation glide
insensibly away, until it is too late. (3) By being attracted by the pleasures
of life. We attend to them now, and are drawn along from one to another, until
religion is suffered to glide away with all its hopes and consolations, and we
perceive, too late, that we have let the opportunity of salvation slip forever.
Allured by those pleasures, the young neglect it; and new pleasures starting up
in future life carry on the delusion, until every favorable opportunity for
salvation has passed away. (4) We suffer favorable opportunities to pass by
without improving them. Youth is by far the best time, as it is the most
appropriate time, to become a Christian - and yet how easy is it to allow that
period to slip away without becoming interested in the Saviour! One day glides
on after another, and one week, and one month, one year passes away after
another - like a gently - flowing stream - until all the precious time of youth
has gone, and we are still not Christians. So a revival of religion is a
favorable time - and yet many suffer this to pass by without becoming
interested in it. Others are converted, and the heavenly influences descend all
around us, but we are unaffected, and the season so full of happy and heavenly
influences is gone - to return no more. (5) We let the favorable season slip,
because we design to attend to it at some future period of life. So youth
defers it to manhood - manhood to old age - old age to a death-bed - and then
neglects it - until the whole of life has glided away, and the soul is not
saved. Paul knew man. He knew how prone he was to let the things of religion
slip out of the mind - and hence, the earnestness of his caution that we should
give heed to the subject now - lest the opportunity of salvation should soon
glide away. When once passed, it can never be recalled.” [=
Bahaya
ini bisa muncul dari banyak sumber - beberapa darinya adalah yang berikut ini: (1) Kita
mungkin / bisa tidak merasakan bahwa kebenaran-kebenaran yang dinyatakan adalah
penting - dan sebelum kepentingan mereka dirasakan, mereka mungkin /
bisa sudah berada di luar jangkauan kita. Begitulah kita sering ditipu
berkenaan dengan kepentingan dari obyek-obyek - dan sebelum kita menyadari
nilai mereka, mereka hilang dan tak bisa dikembalikan. Begitulah sering terjadi
dengan waktu, dan dengan kesempatan-kesempatan untuk mendapatkan pendidikan,
atau untuk mencapai tujuan apapun yang bernilai. Kesempatannya hilang sebelum
kita menyadari kepentingannya. Begitulah orang-orang muda membiarkan masa
kehidupan yang paling penting lewat / hilang sebelum mereka menyadari nilainya,
dan kesempatan untuk berbuat banyak dengan talenta-talenta mereka hilang karena
mereka tidak mengambil kesempatan-kesempatan yang cocok. (2) Dengan terpikat /
aysik dalam bisnis / kesibukan. Kita merasa bahwa ITU sekarang
adalah hal yang terpenting. Itu menuntut semua perhatian kita. Kita tidak
mempunyai waktu untuk berdoa, untuk membaca Alkitab, untuk berpikir tentang
agama, karena perhatian dunia mengambil semua waktu - dan kesempatan-kesempatan
keselamatan hilang secara bodoh / tak disadari, sampai sudah terlambat. (3) Dengan tertarik oleh
kesenangan-kesenangan hidup. Kita memperhatikan mereka sekarang, dan
kita ditarik dari yang satu ke yang lain, sampai agama dibiarkan berlalu dengan
semua pengharapan-pengharapan dan penghiburan-penghiburannya, dan kita
menyadari terlalu lambat bahwa kita telah membiarkan kesempatan keselamatan
luput selama-lamanya. Dipikat oleh kesenangan-kesenangan itu, orang-orang muda
mengabaikannya; dan kesenangan-kesenangan yang baru mulai dalam kehidupan yang
akan datang melanjutkan khayalan itu, sampai setiap kesempatan yang baik telah
berlalu. (4) Kita
membiarkan kesempatan-kesempatan yang baik untuk berlalu tanpa memanfaatkan
mereka. Masa muda pasti adalah waktu yang terbaik, dan itu juga
adalah waktu yang paling cocok, untuk menjadi seorang Kristen - tetapi betapa
mudah untuk mengijinkan masa itu untuk berlalu tanpa menjadi tertarik kepada
sang Juruselamat! Sehari demi sehari berlalu - seperti sebuah sungai yang
mengalir secara lembut sampai seluruh masa muda yang berharga telah hilang, dan
kita tetap bukan / belum menjadi orang-orang Kristen. Juga suatu kebangunan
agama adalah waktu yang baik - tetapi banyak orang membiarkan ini berlalu tanpa
menjadi tertarik kepadanya. Orang-orang lain bertobat, dan pengaruh-pengaruh
surgawi turun di sekeliling kita, tetapi kita tidak terpengaruh, dan musim yang
begitu penuh dengan pengaruh-pengaruh yang bahagia dan surgawi hilang untuk
tidak kembali lagi. (5) Kita membiarkan
musim yang baik lewat / berlalu, karena kita merencanakan untuk menghadiri /
memperhatikan / mencarinya pada masa yang akan datang dari kehidupan.
Demikianlah orang-orang muda menundanya sampai pada masa dewasa - masa dewasa
menunda sampai masa tua - masa tua menunda sampai pada ranjang kematian - dan
lalu mengabaikannya - sampai seluruh kehidupan telah lewat / berlalu, dan jiwa
tidak diselamatkan. Paulus mengenal manusia. Ia tahu betapa condong manusia untuk
membiarkan hal-hal tentang agama hilang dari pikiran - dan karena itu,
kesungguhan dari peringatannya supaya kita memberi perhatian terhadap pokok itu
sekarang - supaya jangan kesempatan keselamatan segera lewat / hilang. Sekali
itu hilang, itu tidak pernah bisa dipanggil kembali.].
Barnes’ Notes (tentang Ibr
2:1): “Hence, learn: (1) the truths of religion will not
benefit us unless we give heed to them. It will not save us that the Lord Jesus
has come and spoken to people, unless we are disposed to listen. It will not
benefit us that the sun shines, unless we open our eyes. Books will not benefit
us, unless we read them; medicine, unless we take it; nor will the fruits of
the earth sustain our lives, however rich and abundant they may be, if we
disregard and neglect them. So with the truths of religion. There is truth
enough to save the world - but the world disregards and despises it. (2) It
needs not great sins to destroy the soul. Simple ‘neglect’ will do it as
certainly as atrocious crimes. Every person has a sinful heart that will
destroy him unless he makes an effort to be saved; and it is not merely the
great sinner, therefore, who is in danger. It is the man who ‘neglects’ his
soul - whether a moral or an immoral man - a daughter of amiableness, or a
daughter of vanity and vice.” [= Jadi, maka, pelajarilah: (1) kebenaran-kebenaran dari agama tidak akan bermanfaat bagi
kita kecuali kita memberi perhatian pada mereka. Itu tidak akan menyelamatkan kita bahwa Tuhan Yesus telah
datang dan berbicara kepada orang-orang, kecuali kita ingin / cenderung /
menentukan untuk mendengar. Itu tidak akan memberi manfaat kepada
kita bahwa matahari bersinar, kecuali kita membuka mata kita. Buku-buku tidak
akan memberi manfaat kepada kita, kecuali kita membaca mereka; obat juga
demikian kecuali kita meminumnya; juga buah-buahan dari bumi tak akan menopang
hidup kita, betapapun kaya dan berlimpah-limpah, jika kita tak mempedulikan dan
mengabaikan mereka. Begitu juga dengan
kebenaran-kebenaran dari agama. Disana ada kebenaran yang cukup untuk
menyelamatkan dunia - tetapi dunia tidak mempedulikan dan meremehkannya.
(2) Tidak
dibutuhkan dosa-dosa yang besar untuk menghancurkan jiwa. Suatu pengabaian
semata-mata akan menghancurkannya dengan sama pastinya seperti
kejahatan-kejahatan yang kejam / mengerikan. Setiap orang mempunyai
hati yang berdosa yang akan menghancurkannya, kecuali ia melakukan usaha untuk diselamatkan. Dan karena itu, bukan
hanya orang-orang yang sangat berdosa saja yang ada dalam bahaya. Yang ada dalam bahaya adalah orang yang mengabaikan jiwanya -
apakah ia seorang laki-laki bermoral atau tidak bermoral, seorang perempuan
yang ramah atau seorang perempuan yang melakukan kesia-siaan dan kejahatan.].
Catatan: ‘usaha
untuk diselamatkan’ maksudnya bukan ‘berbuat baik
supaya selamat’, tetapi ‘datang kepada
Kristus supaya diselamatkan’.