KEBENARAN YANG SEJATI
Pdt. Sutjipto Subeno, S.Th. M.Div.)
Surat Filipi :
3:10 Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya,
3:11 supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.
3:12 Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena aku pun telah ditangkap oleh Kristus Yesus.
3:13 Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku,
3:14 dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.
3:15 Karena itu marilah kita, yang sempurna, berpikir demikian. Dan jikalau lain pikiranmu tentang salah satu hal, hal itu akan dinyatakan Allah juga kepadamu.
3:16 Tetapi baiklah tingkat pengertian yang telah kita capai kita lanjutkan menurut jalan yang telah kita tempuh.
Pemikiran positive thinking kini semakin terbukti justru menghasilkan kenegatifan yang luar biasa. Khususnya menghadapi krisis ekonomi yang dahsyat, positive thinking terbukti tidak bisa menjawab kesulitan yang ada secara realistis.
Kita akan melihat ajaran Paulus tentang proses menjadi orang Kristen yang positive: menjadi positif di dalam pengertian iman Kristen yang sesungguhnya. Filipi 4:8 menunjukkan pola pikir yang Paulus minta, the true positive thinking menurut Alkitab. Positive thinking menurut Alkitab adalah memikirkan semua yang benar, semua yang mulia, adil, suci, manis, sedap didengar yaitu yang disebut kebajikan dan patut dipuji. Kalau kita bandingkan konsep Alkitab dengan konsep para positive thinkers, kita akan melihat keduanya saling bertolak belakang.
Berpikir positif tidaklah cukup dengan hanya dimengerti. Kita perlu masuk dan berproses di dalamnya. Kita seringkali menjadikan iman kita sebagai sebuah pemikiran yang baru kita jalankan dengan serius ketika kita berada di dalam masalah. Tetapi ketika kita hidup normal dan tidak ada masalah, hampir setiap kita menjadi seorang humanis (mencintai diri) dan materialis (mencintai uang). Sehingga iman kita yang sesungguhnya adalah iman yang humanis dan materialis. Kedua hal inilah yang merusak seluruh tatanan dunia dan merusak kehidupan kita. Sebelum bertobat, Paulus adalah seorang yang memikirkan segala sesatu yang dari sudut pandang dirinya sendiri. Pikirnya apa yang ia kerjakan sebelumnya, mengejar dan menindas orang Kristen, adalah pekerjaan yang mulia dan benar. Tetapi ternyata apa yang ia pikirkan bukanlah apa yang Tuhan pikirkan.
Bagaimana sebenarnya proses hidup menjadi orang Kristen yang positif? Paulus mengatakan ini adalah proses seperti seorang yang mau memasukkan diri ke dalam Kristus. Di dalam perikop ini Paulus memaparkan bagaimana seorang yang hidup di dalam Kristus. Ada 5 hal yang diinginkan Paulus yaitu: 1) mengenal Dia, 2) mengenal kuasa kebangkitan-Nya, 3) masuk dalam persekutuan penderitaan-Nya, 4) menjadi serupa dalam kematian-Nya, dan akhirnya 5) menerima kebangkitan dari antara orang mati. Kelima aspek inilah yang Paulus inginkan di dalam hidupnya. Kalau kita merefleksikan, kita bisa bertanya “Betulkah saya sebagai orang Kristen, memiliki keinginan hidup seperti Paulus?” Mengenal Kristus berarti mengenal kuasa kebangkitan-Nya dan kuasa kebangkitan ini dirasakan atau dialami dengan pertama-tama masuk bersekutu di dalam penderitaan-Nya. Setelah itu menjadi serupa dengan kematian-Nya, lalu baru akhirnya mendapatkan kebangkitan, inilah ide yang positif.
Ayat 12, 13 dan 14 menjadi kunci di dalam kita mengerti apa yang akan kita bahas hari ini. Ayat 12 menunjukan bahwa cara berpikir Paulus adalah cara berpikir yang paradoxical. Cara ini adalah cara yang sulit kita pikirkan apalagi kalau cara berpikir kita sudah dipengaruhi oleh Aristotelian thinking. Di dalam logika Aristotelian, maka sesuatu yang sudah berjalan tidak mungkin tidak berjalan, dan sesuatu yang sudah selesai tidak mungkin tidak selesai. Ini merupakan berpikir secara linear concept. Ketika Aristotele harus merelasikan metafisika dengan fisika, maka ia mengalami jalan buntu sehingga jalan keluarnya adalah menarik metafisik masuk ke dalam wilayah fisika.
Pola berpikir kekristenan bukanlah pole berpikir yang linear, tetapi murni paradox. Paradoks berarti already but not yet, ‘sudah’ tetapi pada saat yang bersamaan ‘belum’. Banyak orang tidak bisa mengerti konsep ini. Kalau kita mau mengerti konsep ini, kita harus kembali kepada apa yang Paulus alami pada saat itu, sewaktu ia masuk ke kota Filipi. Di Kisah Rasul 16 kita melihat bagaimana Paulus adalah seorang yang bergumul berat untuk mengerti bagaimana pimpinan dan kehendak Tuhan. Bagaimana ia memikirkan antara Tuhan menginginkan ia menjadi seorang pemberita Injil tetapi pada saat yang sama mengerti Tuhan yang tidak mengijinkan beberapa usaha penginjilan Paulus. Dalam artian tertentu ia sudah menangkap apa yang Tuhan inginkan tetapi di hal yang lain ia belum mengerti apa yang Tuhan mau. Inilah suatu pemikiran yang paradox. Dan setelah Paulus bergumul seperti itu pada malam hari, Tuhan memberikan Dia sebuah visi.
Visi yang Paulus lihat adalah orang Makedonia yang sedang memanggil-manggil dia, dari situ dia mengerti bahwa Tuhan ternyata menghendaki dirinya menyebrang laut masuk ke Makedonia. Kalau kita dipimpin Tuhan, apa yang kita pikirkan? Kalau Tuhan panggil Paulus ke Makedonia, berarti jelas Tuhan akan memberkati Paulus di sana. Tetapi kembali Paulus harus berhadapan sebuah paradox. Begitu dia masuk memberitakan Injil di Filipi dan hasilnya yang pertama ia ditangkap dan dipukuli. Seringkali kita juga memperoleh yang terbalik dari apa yang kita inginkan. Tetapi marahkah Paulus? Tidak, dia menganggap semua itu adalah anugerah (Filipi 3:10). Malahan, Paulus menyanyi bersama Silas di dalam penjara di tengah-tengah malam memuji Tuhan. Lalu secara luar biasa Tuhan membuat suatu gempa bumi yang dasyat. Akibatnya semua sendi penjara, dan pintu pun terbuka. Kalau kita yang mengalami maka kebanyakan dari kita pasti akan lari keluar. Inilah rusaknya jiwa humanis dan materialis. Tetapi cara berpikir anak Tuhan lain: apakah harus lari? Tidak, karena belum ada perintah atau pimpinan dari pada Tuhan. Inilah paradoxical thinking! Kita harus berhati-hati dan peka dalam setiap langkah kita, tidak egois, tidak humanis, tidak mementingkan diri, tetapi mau melihat apa kehendak Tuhan. Cara berpikir seperti ini merupakan cara berpikir dahsyat yang memberikan kekuatan yang luar biasa.
Surat Filipi adalah surat yang pernuh dengan paradox. Andaikan Paulus tidak mengerti akan hal ini dan dia memilih untuk kabur saat penjara terbuka, maka semenjak saat itu Paulus akan menjadi buronan kriminal. Ini adalah status yang tidak dapat dilepas seumur hidupnya dan akan menjadi penghalang besar bagi Paulus untuk memberitakan Injil. Di dalam hidup ini, satu kali saja kita berbuat kesalahan fatal, habislah kita. Aturan dari kerajaan Romawi adalah narapidana yang kabur boleh ditangkap hidup atau mati. Betapa celaka kalau Paulus melarikan diri waktu itu.
Maka kalau di dalam hidup kita bisa berpikir secara paradoxical – bagaimana Allah bekerja dan bagaimana respon manusia – hidup kita akan sangat positif. Di mana kita melihat positifnya? Dalam peristiwa Paulus yang mencegah kepala penjara bunuh diri, karena ia mengira para tahanan sudah kabur. Maka melihat sikap Paulus (yang tidak melarikan diri) maka kepala penjara ini justru menjadi dan melayani Paulus, bahkan akhirnya ia dan seisi rumahnya bertobat serta percaya kepada Kristus. Inilah cara positif-nya Tuhan. Tuhan bertindak dan kita berrespon dengan tepat, itulah artinya being a positive Christian.
Bagaimana saya bisa belajar seperti Paulus yang begitu cermat dan peka akan pimpinan Tuhan? Kalau kita melihat ayat 12, inilah kunci pertama: “Aku sudah memperoleh semua, tetapi aku belum memperoleh apa-apa.” Ini adalah pemikiran paradoks. Kunci keagamaan adalah bagaimana Allah bertindak kepada manusia. Tetapi sayang semua pemikiran agama selalu berpikir bagaimana manusia menangkap Allah. Semua teologi yang humanistik selalu berpikir, saya berbuat sesuatu untuk menangkap Tuhan – dengan kata lain, saya yang berinisiaitif. Paulus mengatakan justru religiusitas sejati percaya bahwa tidak mungkin untuk manusia menangkap Allah, karena Allah adalah Allah yang transenden (Allah yang jauh melampaui keberadaan manusia). Tuhan yang bisa menurut kemauan kita, pastilah merupakan tuhan yang palsu.
Maka Paulus mengatakan bahwa saya sudah ditangkap oleh Tuhan, saya sudah bersekutu dengan Tuhan, tapi aku tidak pernah berpikir bahwa aku sudah menangkap-Nya malahan aku terus berusaha untuk mengejarnya, kalau-kalau aku bisa menangkapnya. Inilah prinsip kehati-hatian yang di dalam reformed theology yang disebut progressive santification, pengkudusan hidup secara bertahap. Setiap orang yang sudah mendapat anugerah Allah, hatinya berpaut kepada Allah. Waktu hatinya berpaut kembali kepada Allah, maka responnya adalah ia akan berhati-hati untuk mengejar supaya dia bisa berespon kepada Tuhan Allah dengan tepat. Banyak ajaran, termasuk reformed theology yang ekstrim, dengan yakin mengatakan bahwa karena saya sudah selamat maka boleh terus berbuat dosa. Alkitab justru mengatakan bahwa orang yang bertobat sejati adalah orang yang telah ditangkap oleh Kristus. Dan hasilnya adalah cara berpikir yang tidak linear: ia merasa sudah ditangkap tetapi responnya adalah belum. Mengapa demikian? Memang belum, karena dalam artian kita harus peka setiap saat bagaimana berjalan di dalam pimpinan Allah. Kalau memang Allah sudah menangkap kita, berarti setiap langkah kita tidak boleh dikuasai oleh diri kita lagi – melainkan kita harus taat kepada pimpinan Allah. Seorang Kristen sejati adalah seorang Kristen yang mau peka dipimpin Tuhan.
Mengerti kehendak Tuhan juga berlaku di dalam setiap aspek dan detail hidup kita. Cobalah untuk berhenti sesaat saja untuk memikirkan: apakah Tuhan menyukai hal ini? Kalau kalimat ini kita senantiasa pikirkan, maka kita akan memiliki hidup yang dipimpin Tuhan. Seluruh hidup Kristen kita sesungguhnya adalah hidup yang paradox. Orang Kristen adalah orang yang kudus dan belum kudus. Orang kudus adalah karena Tuhan sudah memanggil dia dan memberikan status kudus kepada dia. Inilah paradox: Karena saya orang suci, maka saya harus hidup suci. Tetapi karena saya distatuskan suci maka saya belum suci. Orang Kristen juga adalah orang yang benar dan belum benar. Secara status kita adalah orang benar, tetapi kita juga harus mengejar kebenaran karena kita belum benar. Mengapa Paulus memiliki hati yang begitu berpaut kepada Tuhan? Karena dia adalah bagian dari umat pilihan. Doktrin pilihan merupakan doktrin penting di dalam melihat seluruh relasi iman Kristen. Karena saya sudah dipilih dari semula, maka saya harus hidup di dalam kebenaran, kemuliaan, kesucian dan keadilan karena itu adalah status yang Tuhan berikan. Kalau kita tidak mengerti semua ini, maka kita tidak akan bisa merelasikan seluruh tatanan pola pikir Allah. Mengapa Tuhan Yesus mengajar murid-muridnya dengan perumpamaan? Matius 13:10-13 mengatakan bahwa Tuhan Yesus mengajarkan melalui perumpaan adalah agar orang-orang yang tidak diberi anugerah untuk mengerti tidak akan memahami perumpamaan-Nya. Orang-orang yang diajarkan perumpamaan ini akan melihat tetapi tidak melihat, akan mendengar tetapi tidak mendengar, akhirnya kesimpulannya adalah tidak mengerti. Inilah paradox kembali. Tetapi mereka yang diberi anugerah yang baru bisa memahami. Cara berpikir Kristus melampaui semua ilmu pendidikan di dunia. Kalau kita perhatikan di dalam dunia, banyak orang yang semakin belajar bukannya semakin pintar tetapi semakin bodoh, karena cara mendidik dunia adalah cara didik yang hanya memberikan data tetapi tidak belajar untuk melihat kebenaran. That is the worst of the worst in study. Hal itu merupakan kondisi yang terburuk dalam belajar. Kalau kita tidak baik-baik kembali kepada Tuhan maka cara berpikir kita tidak akan beres. Cara berpikir kita akan mengarahkan kita ke tempat yang salah. We would gone astray. Kita pasti akan menyeleweng keluar dari jalur, karena seluruh setting di pikiran kita pasti akan memelintir kita untuk keluar jalur.
Dunia tidak butuh orang pintar tetapi butuh orang bijak. Orang bijak adalah orang yang mampu mempertimbangkan semua aspek dengan sangat akurat dan tepat dari sudut pandang Tuhan lalu di dalam setiap mengambil keputusan melakukan persis seperti yang Tuhan mau. Inilah bijak. Orang yang bisa mengambil keputusan seperti yang Tuhan mau pasti adalah orang yang berbahagia karena orang-orang yang dipimpin olehnya pasti akan dibawa ke tempat yang benar. Biarlah kita belajar untuk memiliki kebijaksanaan di dalam setiap langkah kita. Keputusan yang salah akan memberikan timbal balik yang menghancurkan kehidupan kita. Dunia kita sudah berkali-kali mengambil keputusan salah. Krisis ekonomi yang terjadi sekarang adalah karena gara-gara beberapa orang ‘pintar’ yang bikin keputusan salah yang berakibat fatal. Impactnya bukan hanya terhadap orang-orang tersebut tetapi dunia kita. Apakah mereka pintar? Pintar, tetapi mereka tidak bijaksana, karena mereka bukan mengambil keputusan yang mengejar Kristus.
Dalam ayat 13, “Aku melupakan apa yang ada di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di depanku.” Seorang Kristen yang sejati adalah orang yang berproses ke depan dan bukan dikunci oleh masa lampau. Orang yang hidup di masa lampau adalah orang yang sudah mati sebelum mati. Orang yang memikirkan terus mengenai masa lalu adalah seperti orang lanjut umur. Kalau kita sudah tua yang dipikirkan hanyalah apa yang terjadi di masa lalu. Tetapi sebaliknya, kalau kita sudah tua dan terus berpikir mengenai apa yang di depan, ini berarti masih muda secara semangat. Hidup Kristen adalah hidup yang mau melihat apa yang ada di depan. Tidak ada satupun kita adalah orang yang hidupnya beres dan bersih. Setiap kita pasti memiliki cacat masa lampau. Kalau kita mengotak-atik masa lampau, maka hidup kita akan rusak. Inilah kerusakan orang-orang yang mengikuti Freudian system (cara menganalisa permasalahan yang berdasarkan teori psikologi Sigmund Freud): Terus memikirkan masa lampau, yang terus mengotak-atik masa lampau. Akhirnya bisa membongkar masa lalu tetapi tidak bisa menyusunnya kembali dengan benar. Paulus mengatakan kalau saya memikirkan masa lampau, maka hari ini ia tidak pelayanan. Kenapa? Karena Paulus dulu rusak dan kacau, dia dulu pintar tetapi gila. Itulah Paulus yang dulu. Kalau kita membawa past menjadi present, dan present menjadi future, maka hidup kita akan rusak. Maka Paulus mengajarkan seberapa jauh hidup kita melihat ke depan. Artinya menjadi positive adalah sekarang saya tidak mau berdosa lagi, sekarang saya mau hidup bersama Tuhan maka saya lupakan yang apa di belakang saya. Bertobat adalah buang yang lalu dan berputar arah balik kepada Tuhan dan kebenaran. Paulus ingin mengajak kita untuk berjalan dan melihat masa depan. Kalau kita masih hidup berarti masih ada tugas yang belum selesai. Kalau “aku masih harus ada di dunia ini, maka aku harus memiliki hidup yang memberi buah.”
Paulus juga mengatakan kalau hidup saya harus berbuah tetapi kalau mati juga merupakan kebahagiaan karena bertemu Tuhan. Ini prinsip hidup yang luar biasa. Orang dunia takut untuk mati, orang putus asa takut untuk hidup. Tetapi orang Kristen tidak takut untuk hidup atau juga mati. Karena kedua-duanya merupakan anugerah Tuhan. Kalau saya harus hidup saya harus hidup memuliakan Tuhan. Bukan hidup untuk mengaktualisasi diri saya tetapi mengaktualisasi rencana Tuhan di dalam hidup saya. Actualizing God’s divine plan in the temporarity. Mengaktualisasikan rencana ilahi Tuhan di dalam kesementaraan kita. Itulah bedanya kekristenan dengan teori aktualisasi Abraham Maslow. Jika kita melihat dunia ini, mereka hanya terjepit di dalam perjalanan yang mengulang sejarah dan terus berputar-putar di dalam sejarah. Dan konteks ini jika kita kaitkan dengan kitab Pengkotbah, maka kita akan sadar kalau di dunia ini hanyalah berputar-putar dan semua ini hanyalah kesia-siaan. Hidup di dalam Tuhan barulah tidak sia-sia, di luar Tuhan semua menjadi sia-sia. Dunia kita sungguh kasihan. Paulus mengerti sekali dengan hal ini. Paulus yang dulu bangga dengan statusnya tetapi setelah bertemu Kristus, semua itu dia anggap sebagai sampah dan sia-sia, dan mau hidup saat ini melihat ke depan berjalan bersama Kristus. Hidup kita tidak bisa balik lagi, sejarah hanya berjalan satu kali, sekali kita lewat tidak mungkin kita kembali lagi. Karena itu waktu adalah batasan yang tidak bisa kita lewati.
Ketika kita berlari-lari menuju ke depan, di dalamnya ada konsep urgency. Dalam bahasa Inggris ada kata urge/press on, memacu diri untuk maju. Ini berarti ada tekanan urgency, bukan urusan suka-suka. Seluruh perjalanan sejarah akan menjadi suatu yang sangat tidak berarti ketika itu hanya berakhir di dalam sejarah. Seluruh gerak kita kalau hanya berakhir di dalam kesementaraan, maka habislah seluruh penilaian. Kalau kita menghitung matematika, hanya menghitung hingga kesementaraan kita hanya lulus sampai SD, tetapi kalau kita mau menghitung hingga matematika level lanjutan, kita memerlukan variable baru yaitu tak terhingga (Unlimited). Seluruh garis bilangan adalah temporarity. Setiap bilangan seperti 1, 2, 3 itu adalah titik yang berada di dalam kesementaraan dan bila ditambah terus akan bergeser titiknya. Tetapi ‘tidak terhingga’ itu tidak memiliki titik di dalam kesementaraan. Kalau yang terhingga ditarik terus, pasti berakhir di angka yang terhingga. Ada titik awal dan ada titik akhir.
Bahkan titik awal dan titik akhir dari hidup diri kita pun di tetapkan oleh Tuhan. Alkitab mengatakan bahwa Tuhan adalah Alpha dan Omega: Tuhan adalah Tuhan atas titik awal dan Tuhan atas titik akhir. Pemikiran ini tidak ada di Kitab Suci manapun di seluruh dunia. Lalu di mana letaknya tak terhingga? Tak terhingga itu berada di dalam wilayah kekekalan. Wilayah kekekalan dengan kesementaraan itu berbeda. Kekal tidak bisa berubah dan berubah itu berarti tidak kekal. Ketika kita mulai melihat tak terhingga, kita harus mulai berpikir itu adalah eternity.
Paulus mengatakan, bahwa ia berlari-lari menuju panggilan surgawi dari Tuhan Allah. Panggilan surgawi menunjukan adanya relasi antara kekekalan dengan kesementaraan. Karena itu kita harus mengembalikan kekekalan ke wilayah kekekalan dan mengembalikan kesementaraan ke wilayah kesementaraan. Sehingga kita tidak lagi terkunci untuk memikirkan Allah di dalam kesementaraan, tetapi kembali memikirkan Allah di dalam wilayah kekekalan. Kalau kita kembali kepada konsep ini, maka hidup kita tidak akan menjadi sia-sia berhenti di dalam kesementaraan tetapi mengejar kekekalan. Betapa berdosanya kita kalau kita membuang natur asli kerohanian kita. Nafas hidup yang Tuhan berikan kepada manusia membuatnya dapat berelasi dengan kekekalan. Tuhan panggil kita hari ini untuk kita menyadari kalau kita bukan hanya mempunyai sekedar jasmani tetapi juga kita memiliki roh. Di situlah ada kekekalan, tubuh kita bisa mati tetapi roh kita tidak. Selama ini pikiran seperti ini sudah coba diganti dan coba dibuang dari dunia. Tetapi hari ini kita harus kembali untuk menjadi positive berdasarkan Alkitab. Back to the totality of our life. Kembali ke totalitas hidup kita. Kita bukan hanya terdiri dari daging, emosi dan pikiran tetapi kita mempunyai roh yang mengajak kita melihat kepada Tuhan. Sehingga hati kita, tubuh kita, perasaan kita, pikiran kita harus dikembalikan kepada Tuhan Allah. Kalau merelasikan hidup kita dengan kekekalan, kita akan sadar kalau kita berada di dalam progresif santification menuju kepada kesempurnaan. Kita bukan memiliki negative progression (tahap pertumbuhan negatif), menuju kepada kehinaan, kejelekan, kebinasaan. Tetapi kita berproses menuju kepada kesempurnaan, kepada kesucian yang Tuhan sediakan bagi kita. Seberapa jauh Tuhan terus memproses kita menuju kepada kekekalan. Inilah panggilan kita saat ini. Biarlah hari ini kita kembali merenungkan akan hal ini, biarlah Tuhan mengembalikan pikiran, hidup kita kembali kepada Dia yang adalah Tuhan atas sejarah. Sehingga kita menjadi seorang yang positive di tengah dunia yang semakin negative.
Amin.
|