Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

IBADAH

IBADAH

IBADAH.“Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibrani. 10:25).

Ibadah yang sejati adalah tanda seseorang mengalami keselamatan yang dari Tuhan. Kita memang bukan diselamatkan karena ketekunan kita beribadah, namun orang yang sungguhsungguh telah menerima keselamatan yang dari Tuhan akan mengerti apa artinya penebusan yang sudah dikerjakan melalui darah Yesus.

Penulis surat Ibrani mengatakan, “oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus, karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diri-Nya sendiri” (10:19-20). Perhatikan kata-kata “ke dalam tempat kudus”. Apakah kita memiliki gairah untuk kekudusan? Jika tidak, kita boleh memikirkan ulang apakah kita memang telah mengalami keselamatan yang sejati dari Tuhan.

Kita akan mengerti betapa mahalnya darah Yesus ketika kita tahu bahwa kita tidak dapat memasuki tempat kudus Allah. Bagi umat Israel, tempat kudus ini menyatakan kehadiran Allah yang paling penuh, sehingga Imam Besar yang memasukinya harus terlebih dahulu menyucikan dirinya sendiri. Tidak ada kebahagiaan yang sejati di luar kehadiran Allah. Neraka adalah tempat kontradiktif di mana Allah tidak hadir, atau Allah hadir dalam kepenuhan murka-Nya. Namun selama kita masih hidup kita diberi kesempatan untuk mengalami hadirat Allah yang memberkati kita di dalam Yesus, Imam Besar yang sesungguhnya yang tidak pernah berbuat dosa.

Kita yang telah mengalami keselamatan yang sejati “menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni” (10:22). Ibadah adalah suatu pernyataan bahwa kita tidak lagi hidup dikuasai oleh hati nurani yang jahat melainkan oleh yang sudah dibersihkan. Hati nurani yang baik tidak dapat dipisahkan dengan persembahan tubuh kita bagi Tuhan. Dalam surat Roma, Paulus mengatakan itulah ibadah kita yang sejati (Rm. 12:1).

Darah Yesus telah membasuh kita sehingga tubuh yang dikuduskan dapat dipergunakan oleh Tuhan. Orang yang menyerahkan tubuhnya untuk perbuatan dosa tidak mungkin beribadah dengan benar kepada Tuhan. Di tengah-tengah perjalanan hidup kita mengikut Tuhan, kita bisa jatuh dalam pencobaan karena kita kurang teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita. Penulis surat Ibrani mengatakan bahwa dasar kesetiaan kita adalah kesetiaan Allah (10:23).

Ibadah membutuhkan ketekunan, dan ketekunan itu bukan didapat dari kekuatan kita sendiri, melainkan sebagai respons terhadap ketekunan dan kesetiaan Tuhan. Kita setia karena Tuhan telah terlebih dahulu setia kepada kita. Ibadah adalah iman kepada kesetiaan Tuhan. Kita bukan setia beribadah kemudian mengharapkan berkat tertentu dari Tuhan karena kesetiaan kita itu. Tidak! Sebaliknya, kita menanggapi kesetiaan Tuhan kepada kita dengan kesetiaan kita dalam beribadah kepada-Nya.

Dan jika hal itu masih kurang menguatkan kita juga, Allah bahkan mengaruniakan kepada kita saudara-saudara seiman agar kita “saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik” (10:24). Ini berarti ibadah bukan hanya tanggung jawab pribadi melainkan juga memiliki dimensi komunal/persekutuan.

Kita tidak dapat beribadah seorang diri, karena itu bukanlah ibadah. Orang-orang Israel beribadah bersama sebagai satu umat di hadapan Allah. Individualisme atau sikap yang terus-menerus menyendiri tidak mungkin membawa kepada ibadah yang sejati. Ya, ketika kita berurusan dengan orang lain, bahkan juga dengan sesama orang Kristen, bisa terjadi gesekan dan ketegangan.

Namun, kita tetap tidak dapat menjauhi umat Allah karena menjauhi anggota-anggota tubuh Kristus berarti menjauhi Kristus sendiri; Kristus bukan tanpa anggota tubuh-Nya. Di dalam ibadah yang sejati ada aspek persekutuan bersama dengan orang percaya. Tidak ada hubungan vertikal dengan Tuhan yang tidak mencakup hubungan horizontal dengan umat Tuhan. Orang yang hidup menyendiri tidak mengalami dorongan dalam kasih dan juga tidak mendorong saudaranya dalam kasih. Hidupnya akan miskin kasih. Akibatnya, kasih Tuhan pun akan lambat laun menjadi abstrak dan tidak dapat lagi dipahami dengan benar.

Karena itu, kemudian penulis Ibrani menasihatkan agar kita tidak menjauhkan diri dari pertemuanpertemuan ibadah. Karena orang yang membiasakan hal itu akan terjauhkan dari kehidupan Kristen yang saling menasihati. Saling berarti kita bertanggung jawab untuk menasihati saudara kita dan harus belajar dengan rendah hati menerima nasihat dari sesama saudara kita.

Ibadah pasti berkaitan dengan kerendahan hati. Ketika kita beribadah kita merendahkan diri mengakui kebesaran, kekudusan, kemuliaan, kedaulatan Allah. Secara horizontal, kita saling merendahkan diri untuk saling menerima nasihat. Alkitab mengatakan bahwa orang bebal tidak dapat menerima nasihat, namun orang bijak dibedakan karena ia dengan rendah hati menerima nasihat.

BACA JUGA: 4 CIRI GEREJA YANG SEJATI (KISAH PARA RASUL 2:41-47)

Kita tidak bisa hanya rendah hati menerima nasihat Tuhan tapi tidak menerima nasihat saudara seiman kita. Itu bukan kerendahan hati yang sejati. Selain itu, penulis Ibrani juga mengajarkan bahwa dalam ibadah yang benar ada kesadaran dan kepekaan yang jelas, bahwa kita sedang menantikan hari Tuhan yang mendekat. Ibadah sangat penting dalam kehidupan seorang Kristen karena tanpa ibadah orang akan cenderung lupa bahwa dia sedang menuju hari kematian dan bahwa dia harus mempertanggungjawabkan semua yang dilakukan dalam hidup ini di hadapan Tuhan.

Orang yang jarang beribadah lambat laun akan dibutakan dengan hidup hanya dalam realitas dunia yang kelihatan saja. Ia tidak sadar bahwa Tuhan sedang mengawasi hidupnya. Ia tidak peduli bahwa Tuhan akan datang kembali. Ia hanya hidup untuk di sini dan sekarang.

Hidup yang tanpa fokus dan arah adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi. Tidak ada gunanya kita mempunyai perlengkapan atau perbekalan sebanyak apa pun karena kita tidak tahu ke mana kita berjalan. Orang yang bertekun dalam pertemuanpertemuan ibadah akan dihindarkan dari kekacauan seperti itu karena dalam ibadah ia berjumpa dengan Pribadi Tuhan yang kembali mengarahkan seluruh hidupnya.

Kita yang percaya tahu bahwa menjauhkan diri dari pertemuanpertemuan ibadah itu adalah perbuatan dosa. Dengan tegas dan keras penulis Ibrani memperingatkan bahwa “jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu” (10:26). Apakah ini berarti orang Kristen yang sejati dapat kehilangan keselamatannya? Bukan.

Tetapi ayat ini menyatakan bahwa mereka yang sungguh-sungguh telah menerima keselamatan dari Tuhan tidak akan sengaja berbuat dosa seperti itu. Mereka yang sengaja berbuat dosa seperti itu namun tetap yakin bahwa mereka diselamatkan sesungguhnya sedang menipu diri mereka sendiri. Jika kita memang sungguh-sungguh diselamatkan, kita akan beribadah dengan tekun di hadapan Tuhan karena salah satu tanda seseorang mengalami keselamatan sejati yang dari Tuhan adalah hidup beribadah yang setia. 
Ibadah membutuhkan ketekunan, dan ketekunan itu bukan didapat dari kekuatan kita sendiri, melainkan sebagai respons terhadap ketekunan dan kesetiaan Tuhan.

Pdt. Billy Kristanto