Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perseverance Of The Saints (8) (Ketekunan Orang-Orang Kudus)

Pdt.Budi Asali, M.Div. 

John Stott: This other pair of epigrams envisages the dreadful possibility of our denying Christ and proving faithless. The first phrase ‘if we deny him, he also will deny us’ seems to be an echo of our Lord’s own warning: ‘whoever denies me before men, I also will deny before my Father who is in heaven’ (Mt. 10:33). What then of the second phrase ‘if we are faithless, he remains faithful’? It has often been taken as a comforting assurance that, even if we turn away from Christ, he will not turn away from us, for he will never be faithless as we are. And it is true, of course, that God never exhibits the fickleness or the faithlessness of man. Yet the logic of the Christian hymn, with its two pairs of balancing epigrams, really demands a different interpretation. ‘If we deny him’ and ‘if we are faithless’ are parallels, which requires that ‘he will deny us’ and ‘he remains faithful’ be parallels also. In this case his ‘faithfulness’ when we are faithless will be faithfulness to his warnings. As William Hendriksen puts it: ‘Faithfulness on his part means carrying out his threats … as well as his promises.’ So he will deny us, as the earlier epigram asserts. Indeed, if he did not deny us (in faithfulness to his plain warnings), he would then deny himself. But one thing is certain about God beyond any doubt or uncertainty whatever, and that is ‘he cannot deny himself’.” [= Pasangan yang lain dari syair pendek ini menggambarkan kemungkinan yang menakutkan tentang penyangkalan kita terhadap Kristus dan membuktikan / menyatakan bahwa kita tidak setia. Ungkapan pertama ‘jika kita menyangkal Dia, Dia juga akan menyangkal kita’ kelihatannya merupakan suatu gema dari peringatan Tuhan kita sendiri: ‘Barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan BapaKu yang di surga’ (Mat 10:33). Lalu bagaimana dengan ungkapan kedua ‘jika kita tidak setia, Ia tetap setia’? Itu sering diartikan sebagai suatu jaminan yang bersifat menghibur bahwa, bahkan jika kita berbalik dari Kristus, Ia tidak akan berbalik dari kita, karena Ia tidak akan pernah tidak setia seperti kita. Dan tentu saja adalah benar bahwa Allah tidak pernah menunjukkan sikap plin plan atau ketidak-setiaan manusia. Tetapi logika dari nyanyian pujian Kristen itu, dengan dua pasangannya dari syair pendek yang seimbang, betul-betul menuntut suatu penafsiran yang berbeda. ‘Jika kita menyangkal Dia’ dan ‘jika kita tidak setia’ adalah kalimat-kalimat yang paralel, yang menuntut bahwa ‘Ia akan menyangkal kita’ dan ‘Ia tetap setia’ juga adalah kalimat-kalimat yang paralel. Dalam kasus ini ‘kesetiaan’Nya pada waktu kita tidak setia adalah ‘kesetiaanNya pada peringatan-peringatanNya. Seperti William Hendriksen menyatakannya: ‘Kesetiaan pada sisiNya berarti melaksanakan ancaman-ancamanNya ... maupun janji-janjiNya. Maka Ia akan menyangkal kita, seperti ditegaskan / dinyatakan oleh bagian yang lebih awal dari syair itu. Memang, jika Ia tidak menyangkal kita (dalam kesetiaan terhadap peringatan-peringatanNya yang jelas), maka Ia akan menyangkal diriNya sendiri. Tetapi satu hal yang pasti tentang Allah melampaui keraguan atau ketidak-pastian apapun, dan itu adalah ‘Ia tidak bisa menyangkal diriNya sendiri’.].

Jadi, John Stott (dan juga William Hendriksen di bawah) menganggap bahwa kata-kata ini merupakan 2 pasang anak kalimat yang paralel. Anak kalimat 1 paralel dengan anak kalimat 2, sedangkan anak kalimat 3 paralel dengan anak kalimat 4.

1. Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia;
2. jika kita bertekun, kitapun akan ikut memerintah dengan Dia;
3. jika kita menyangkal Dia, Diapun akan menyangkal kita;
4. jika kita tidak setia, Dia tetap setia,

Karena itu, kata-kata ‘Diapun akan menyangkal kita’ (no 3) paralel dengan ‘Dia tetap setia’ (no 4), dan karena itu tidak bisa diartikan bahwa ‘Ia tetap setia kepada kita’, tetapi harus diartikan bahwa ‘Ia tetap setia pada janji-janji dan ancaman-ancamanNya’.

William Hendriksen: In the first two lines the if-clause describes the attitude-and-action which proceeds from loyalty to Christ: we have died with (him), we endure (remain stedfast). In the last two lines the if-clause describes the attitude-and-action which proceeds from disloyalty. The first two lines are clearly illustrations of synthetic or constructive parallelism. They do not express an identical thought, but there is progressive correspondence between the two propositions. As to the if-clauses, the persons who are assumed to have died with Christ are also the ones who endure, being faithful to death. And as to the conclusions, not only will such persons live with Christ, but they will also reign with him. These two go together. Note that in all the four clauses of these two lines the subject is ‘we’ (‘we … we …; we … we’). The last two lines, describing the course of disloyalty, differ in form from the first two. Here we have not ‘we … we,’ but twice ‘we … he.’” [= Dalam 2 baris pertama, anak kalimat menggunakan kata ‘jika’ itu menggambarkan sikap dan tindakan yang keluar dari kesetiaan kepada Kristus: kita telah mati dengan (Dia), kita bertahan / bertekun (tetap setia). Dalam 2 baris yang terakhir, anak kalimat menggunakan ‘jika’ menggambarkan sikap dan tindakan yang keluar dari ketidak-setiaan. Dua baris pertama secara jelas merupakan ilustrasi dari paralelisme yang berhubungan. Mereka tidak menyatakan suatu pemikiran yang identik, tetapi di sana ada hubungan / kemiripan yang bersifat progresif di antara kedua pernyataan. Berkenaan dengan anak kalimat menggunakan ‘jika’, orang-orang yang dianggap telah mati dengan / bersama Kristus juga adalah orang-orang yang bertahan / bertekun, setia sampai mati. Dan berkenaan dengan kesimpulannya, bukan hanya orang-orang seperti itu akan hidup dengan Kristus, tetapi mereka juga akan memerintah bersama Dia. Kedua hal ini berjalan bersama-sama. Perhatikan bahwa dalam semua 4 anak kalimat dari kedua baris ini, subyeknya adalah ‘kita’ (‘kita ... kita; kita ... kita’). Dua baris terakhir, menggambarkan jalan dari ketidak-setiaan, berbeda dalam bentuk dengan dua baris pertama. Di sini kita bukan mempunyai ‘kita ... kita’, tetapi dua kali ‘kita ... Ia.’].

2Tim 2:11-13 - “(11) Benarlah perkataan ini: ‘Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia; (12) jika kita bertekun, kitapun akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita menyangkal Dia, Diapun akan menyangkal kita; (13) jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya.’”.

William Hendriksen: In the third line (‘If we shall deny him, he on his part will also deny us’), the conclusion is the expected one (just as in lines one and two). In the fourth line, however, the conclusion comes as somewhat of a surprise. It takes careful reflection before we realize that the surprising conclusion is, after all, the only possible one. Once we grasp its meaning, we understand that also lines three and four express a parallel thought, and are illustrations of synthetic parallelism. ... To deny Christ means to be faithless. ... Hence, the hymn continues: ‘If we are faithless, he on his part …,’ but obviously the continuation cannot be ‘will also be faithless.’ One can say, ‘If we shall deny him, he on his part will also deny us,’ but one cannot say, ‘If we are faithless, he on his part will also be faithless.’” [= Dalam baris ketiga (‘Jika kita menyangkal Dia, di pihakNya Dia juga akan menyangkal kita’), kesimpulannya adalah kesimpulan yang diharapkan (persis seperti dalam baris satu dan dua). Tetapi dalam baris 4, kesimpulannya datang dengan agak mengejutkan. Baris 4 itu memerlukan pemikiran / perenungan sebelum kita menyadari bahwa kesimpulan yang mengejutkan itu bagaimanapun juga adalah satu-satunya yang memungkinkan. Satu kali kita mengerti artinya, kita mengerti bahwa baris 3 dan 4 juga menyatakan pemikiran yang paralel, dan merupakan ilustrasi dari paralelisme yang sintetis. ... ‘Menyangkal Kristus’ berarti ‘tidak setia’. ... Maka, nyanyian pujian itu berlanjut: ‘Jika kita tidak setia, di pihakNya Ia ...’, tetapi jelas bahwa lanjutannya tidak bisa adalah ‘juga akan tidak setia’. Orang bisa berkata, ‘Jika kita menyangkal Dia, di pihakNya Dia juga akan menyangkal kita’, tetapi orang tidak bisa berkata, ‘Jika kita tidak setia, di pihakNya Ia juga akan tidak setia’.].

Catatan: saya tidak melihat alasan mengapa orang bisa mengatakan ‘Ia juga akan menyangkal kita’ tetapi tidak bisa mengatakan ‘Ia juga akan tidak setia’! Apa alasannya yang menyebabkan tidak bisa? Coba bandingkan dengan ayat di bawah ini.

Maz 18:26-27 - “(26) Terhadap orang yang setia Engkau berlaku setia, terhadap orang yang tidak bercela Engkau berlaku tidak bercela, (27) terhadap orang yang suci Engkau berlaku suci, tetapi terhadap orang yang bengkok Engkau berlaku belat-belit..
Ada 2 hal yang saya ingin saudara perhatikan dari text ini.
(a)Dalam text ini juga ada 4 baris / anak kalimat; baris 1 paralel dengan baris 2, sedangkan baris 3 kontras dengan baris 4 (hanya saja di sini ada kata ‘tetapi’). Lalu mengapa hal seperti ini tidak mungkin terjadi dalam text yang sedang kita bahas?
(b)Perhatikan dua kata yang saya beri garis bawah tunggal dan garis bawah ganda.
KJV: the froward ... froward [= keras kepala ... keras kepala].
RSV: the crooked ... perverse [= bengkok / tak jujur ... jahat / menyimpang].
NIV: the crooked ... shrewd [= bengkok / tak jujur ... licik].
NASB: the crooked ... astute [= bengkok / tak jujur ... lihai / licik].
Kalau ayat ini bisa menyebut Allah sebagai ‘belat-belit’, ‘froward’ / ‘keras kepala’, ‘perverse’ / ‘jahat / menyimpang’, ‘shrewd’ / ‘licik’, ‘astute’ / ‘lihai / licik’, lalu mengapa tidak boleh menyebut Allah ‘tidak setia’? Kita bukan sekedar menyebut Allah ‘tidak setia’, tetapi ‘Ia tidak setia kepada orang yang tidak setia’. Saya tidak melihat masalah dengan kata-kata itu, bahkan saya beranggapan, bahwa kalau memang maksud Paulus adalah seperti yang ditafsirkan oleh William Hendriksen, John Stott dsb, mengapa ia tidak menggunakan kata-kata ‘tidak setia’ saja supaya jangan ada salah pengertian?

William Hendriksen: Nevertheless, the conclusion of the fourth line corresponds in thought with that of its parallel, the third line; for, the clause ‘he on his part remains faithful’ (line four) is, after all, the same (even more forcefully expressed!) as, ‘he on his part will also deny us,’ for faithfulness on his part means carrying out his threats (Matt. 10:33) as well as his promises (Matt. 10:32)! Divine faithfulness is a wonderful comfort for those who are loyal (I Thess. 5:24; II Thess. 3:3; cf. I Cor. 1:9; 10:13; II Cor. 1:18; Phil. 1:6; Heb. 10:23). It is a very earnest warning for those who might be inclined to become disloyal. It is hardly necessary to add that the meaning of the last line cannot be, ‘If we are faithless and deny him, nevertheless he, remaining faithful to his promise, will give us everlasting life.’ Aside from being wrong for other reasons, such an interpretation destroys the evident implication of the parallelism between lines three and four.” [= Bagaimanapun, kesimpulan dari baris ke 4 cocok dengan pemikiran dari baris paralelnya, baris ke 3; karena, anak kalimat ‘pada pihakNya Dia tetap setia’ (baris ke 4) bagaimanapun juga adalah sama (bahkan dinyatakan dengan lebih kuat!) seperti, ‘di pihakNya Dia juga akan menyangkal kita’, karena kesetiaan di pihakNya berarti melaksanakan ancaman-ancamanNya (Mat 10:33) maupun janji-janjiNya (Mat 10:32)! Kesetiaan ilahi adalah suatu penghiburan yang luar biasa bagi mereka yang setia (1Tes 5:24; 2Tes 3:3; bdk. 1Kor 1:9; 10:13; 2Kor 1:18; Fil 1:6; Ibr 10:23). Itu adalah suatu peringatan yang sangat sungguh-sungguh bagi mereka yang cenderung untuk menjadi tidak setia. Hampir tak perlu ditambahkan bahwa arti dari baris terakhir tidak bisa adalah, ‘Jika kita tidak setia, dan menyangkalNya, bagaimanapun Ia, karena tetap setia kepada janjiNya, akan memberikan kita hidup yang kekal’. Disamping itu merupakan sesuatu yang salah karena alasan-alasan lain, penafsiran seperti itu menghancurkan maksud / pengertian yang jelas dari paralelisme antara baris ke 3 dan ke 4.].

Pertanyaan saya adalah: Apakah benar kalimat ke 3 dan 4 merupakan kalimat paralel? Bagaimana dengan adanya kata-kata ‘karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya.’ pada akhir dari ay 13? Bukankah ini menunjukkan bahwa kalimat 3 dan 4 tidak paralel? Mari kita baca lagi bagian itu.

Ay 11b-13: “(11b) ‘Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia; (12) jika kita bertekun, kitapun akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita menyangkal Dia, Diapun akan menyangkal kita; (13) jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya.’.

Perhatikan jawaban William Hendriksen di bawah ini.

William Hendriksen: The final clause of verse 13 is probably to be regarded as a comment by Paul himself (not a part of the hymn): … ‘for to deny himself he is not able.’ If Christ failed to remain faithful to his threat as well as to his promise, he would be denying himself, for in that case he would cease to be The Truth. ... But for him to deny himself is, of course, impossible. If it were possible, he would no longer be God! [= Anak kalimat terakhir dari ayat 13 mungkin harus dianggap sebagai suatu komentar oleh Paulus sendiri (bukan suatu bagian dari nyanyian pujian): ... ‘Karena Ia tidak bisa menyangkal diriNya sendiri’. Jika Kristus gagal untuk tetap setia pada ancamanNya maupun pada janjiNya, Ia akan menyangkal diriNya sendiri, karena dalam kasus itu Ia akan berhenti sebagai Sang Kebenaran. ... Tetapi untuk Dia, tentu saja menyangkal diriNya sendiri adalah mustahil. Seandainya itu memungkinkan, Ia bukanlah Allah lagi!].
Catatan:
a. Pertama-tama perlu diketahui bahwa ada pro kontra yang sangat hebat tentang apakah dalam bagian ini Paulus memang mengutip suatu nyanyian pujian atau tidak.
b. Dan kalau Paulus memang mengutip suatu nyanyian pujian, masih ada persoalan lain. Persoalannya adalah: apakah benar anak kalimat terakhir itu merupakan tambahan dari Paulus sendiri, dan bukan merupakan bagian dari kutipan dari nyanyian pujian itu? Sekalipun memungkinkan, tetapi tidak ada kepastian dalam hal ini. Dan kalau anak kalimat terakhir itu termasuk dalam nyanyian pujian itu, itu menghancurkan keparalelannya.
c. Pertanyaan yang sudah saya nyatakan di atas: Apakah benar dua kalimat itu paralel? Tidak mungkinkah dua kalimat itu justru bersifat mengkontraskan (antithesis)? Contoh:
(1)Mat 10:32-33 - “(32) Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan BapaKu yang di sorga. (33) Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan BapaKu yang di sorga.’”.
(2)Yoh 3:36 - “Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya.’”.
(3)Ro 5:15-19 - “(15) Tetapi karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karuniaNya, yang dilimpahkanNya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus. (16) Dan kasih karunia tidak berimbangan dengan dosa satu orang. Sebab penghakiman atas satu pelanggaran itu telah mengakibatkan penghukuman, tetapi penganugerahan karunia atas banyak pelanggaran itu mengakibatkan pembenaran. (17) Sebab, jika oleh dosa satu orang, maut telah berkuasa oleh satu orang itu, maka lebih benar lagi mereka, yang telah menerima kelimpahan kasih karunia dan anugerah kebenaran, akan hidup dan berkuasa oleh karena satu orang itu, yaitu Yesus Kristus. (18) Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup. (19) Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar.”.
(4)1Kor 15:21-22 - “(21) Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia. (22) Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.”.
(5)1Kor 15:47-48 - “(47) Manusia pertama berasal dari debu tanah dan bersifat jasmani, manusia kedua berasal dari sorga. (48) Makhluk-makhluk alamiah sama dengan dia yang berasal dari debu tanah dan makhluk-makhluk sorgawi sama dengan Dia yang berasal dari sorga.”.
Catatan: sekalipun dalam suatu pengkontrasan biasanya ada kata ‘tetapi’ (seperti dalam Mat 10:32-33  Yoh 3:36  Ro 5:16), tetapi tidak selalu (seperti dalam Ro 5:15,17-19  1Kor 15:21-22  1Kor 15:47-48).

(2)Ia tetap setia kepada kita.

Bible Knowledge Commentary: “‎‘If we are faithless, He will remain faithful’ speaks not of the apostate, but of a true child of God who nevertheless proves unfaithful (cf. 2 Tim 1:15). Christ cannot disown Himself; therefore He will not deny even unprofitable members of His own body. True children of God cannot become something other than children, even when disobedient and weak. Christ’s faithfulness to Christians is not contingent on their faithfulness to Him.” [= Kata-kata ‘Jika kita tidak setia, Ia akan tetap setia’, tidak berbicara tentang seorang yang murtad, tetapi tentang seorang anak Allah yang sejati, yang bagaimanapun terbukti tidak setia (bdk. 2Tim 1:15). Kristus tidak bisa tidak mengakui diriNya sendiri; karena itu Ia tidak akan menyangkal bahkan anggota-anggota tubuhNya sendiri yang tidak menguntungkan. Anak-anak Allah yang sejati tidak bisa menjadi sesuatu yang lain dari anak-anak, bahkan pada saat tidak taat dan lemah. Kesetiaan Kristus kepada orang-orang Kristen tidaklah tergantung pada kesetiaan mereka kepada Dia.].
2Tim 1:15 - “Engkau tahu bahwa semua mereka yang di daerah Asia Kecil berpaling dari padaku; termasuk Figelus dan Hermogenes.”.

The Bible Exposition Commentary: New Testament: “But Paul makes it clear (2 Tim 2:13) that even our own doubt and unbelief cannot change Him: ‘He abideth faithful; He cannot deny Himself.’ We do not put faith in our faith or in our feelings because they will change and fail. We put our faith in Christ. The great missionary, J. Hudson Taylor, often said, ‘It is not by trying to be faithful, but in looking to the Faithful One, that we win the victory.’” [= Tetapi Paulus membuat jelas (2Tim 2:13) bahwa bahkan keraguan dan ketidak-percayaan kita sendiri tidak bisa mengubahNya: ‘Ia tetap setia; Ia tidak bisa menyangkal diriNya sendiri’. Kita tidak beriman pada iman kita atau pada perasaan kita karena hal-hal itu akan berubah dan gagal. Kita beriman kepada Kristus. Misionaris yang besar / agung, J. Hudson Taylor, sering berkata, ‘Bukan dengan berusaha menjadi setia, tetapi dengan memandang kepada Yang Setia, maka kita memenangkan kemenangan’.].

Wilmington’s Bible Handbook (Bible Survey): “2:12-13 can seem contradictory; this is one possible interpretation: (1) If we ‘deny’ Christ, that is, if we deny him first place in our lives, he will also ‘deny’ us, that is, we will suffer the loss of our rewards at his judgment seat (see exposition on 1 Cor 3:10-17). (2) But no matter how ‘unfaithful’ we are, that is, no matter how much we fail him, he will remain ‘faithful’ and will never ‘deny himself,’ that is, he will never go back on his promise to save us (see 2:19; 2 Cor 1:19-22; Eph 1:13-14; 1 Peter 1:3-5).” [= 2:12-13 bisa kelihatan bertentangan; ini merupakan salah satu penafsiran yang memungkinkan: (1) Jika kita ‘menyangkal’ Kristus, artinya, jika kita menyangkal / menolak untuk memberikan Dia tempat pertama dalam hidup kita, Ia juga akan ‘menyangkal’ kita, artinya, kita akan mengalami kehilangan pahala kita pada kursi penghakimanNya (lihat exposisi tentang 1Kor 3:10-17). (2) Tetapi tak peduli bagaimanapun ‘tidak setianya’ kita, artinya, tak peduli bagaimanapun banyaknya kita melupakan / melalaikan Dia, Ia akan tetap ‘setia’ dan tidak akan pernah ‘menyangkal diriNya sendiri’, artinya, Ia tidak akan pernah mundur dari janjiNya untuk menyelamatkan kita (lihat 2:19; 2Kor 1:19-22; Ef 1:13-14; 1Pet 1:3-5).].
2Tim 2:19 - “Tetapi dasar yang diletakkan Allah itu teguh dan meterainya ialah: ‘Tuhan mengenal siapa kepunyaanNya’ dan ‘Setiap orang yang menyebut nama Tuhan hendaklah meninggalkan kejahatan.’”.
2Kor 1:19-22 - “(19) Karena Yesus Kristus, Anak Allah, yang telah kami beritakan di tengah-tengah kamu, yaitu olehku dan oleh Silwanus dan Timotius, bukanlah ‘ya’ dan ‘tidak’, tetapi sebaliknya di dalam Dia hanya ada ‘ya’. (20) Sebab Kristus adalah ‘ya’ bagi semua janji Allah. Itulah sebabnya oleh Dia kita mengatakan ‘Amin’ untuk memuliakan Allah. (21) Sebab Dia yang telah meneguhkan kami bersama-sama dengan kamu di dalam Kristus, adalah Allah yang telah mengurapi, (22) memeteraikan tanda milikNya atas kita dan yang memberikan Roh Kudus di dalam hati kita sebagai jaminan dari semua yang telah disediakan untuk kita.”.
Ef 1:13-14 - “(13) Di dalam Dia kamu juga - karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu - di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikanNya itu. (14) Dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah, untuk memuji kemuliaanNya.”.
1Pet 1:3-5 - “(3) Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmatNya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan, (4) untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu. (5) Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir.”.

UBS New Testament Handbook Series: “‘Faithless’ is better translated in English as ‘unfaithful’ (compare TEV and CEV), with Christ as the implicit object of the unfaithfulness. This would make clear that ‘unfaithful’ is parallel to ‘deny’ in the previous verse, since to disown Christ is equivalent to being unfaithful to him. So one may translate ‘If we are unfaithful to him’ or ‘If we turn our backs on him.’ The second part of this verse is not what we expect it to be, considering the previous verse. So here we would have expected ‘he will also be unfaithful.’ In fact some scholars have suggested that the meaning of ‘he remains faithful’ is that Christ remains faithful to his sense of justice and will therefore pronounce judgment on those who are unfaithful to him. ... Attractive as this explanation may be, it is more likely that the object of faithfulness here is not Christ but the believers, that is, ‘he remains faithful to us.’ ‘He cannot be false to himself’ then means that Christ cannot turn his back on his true nature as the Savior who remains faithful to those who trust in him.” [= Kata ‘faithless’ lebih baik diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai ‘tidak setia’ (bandingkan dengan TEV dan CEV), dengan Kristus sebagai obyek implicit / tidak langsung dari ketidak-setiaan. Ini akan membuat jelas bahwa ‘tidak setia’ paralel dengan ‘menyangkal’ dalam ayat sebelumnya, karena menyangkal / tidak mengakui Kristus adalah sama dengan tidak setia kepadaNya. Jadi seseorang bisa menterjemahkan ‘Jika kita tidak setia kepadaNya’ atau ‘Jika kita membelakangi Dia’. Bagian kedua dari ayat ini tidaklah seperti yang kita harapkan, kalau kita mempertimbangkan ayat sebelumnya. Jadi, di sini kita akan mengharapkan ‘Ia juga akan tidak setia’. Dalam faktanya / sebetulnya, beberapa sarjana telah mengusulkan bahwa arti dari ‘Ia tetap setia’ adalah bahwa Kristus tetap setia pada perasaan / pendirian tentang keadilan dan karena itu Ia akan mengumumkan penghakiman kepada mereka yang tidak setia kepadaNya. ... Sekalipun penjelasan ini menarik, adalah lebih memungkinkan bahwa obyek dari kesetiaan di sini bukanlah Kristus tetapi orang-orang percaya, yaitu, ‘Ia tetap setia kepada kita’. Jadi, ‘Ia tidak bisa tidak setia kepada diriNya sendiri’ artinya adalah bahwa Kristus tidak bisa membelakangi sifat dasarNya yang sejati sebagai Juruselamat yang tetap setia kepada mereka yang percaya kepadaNya.].

Ay 12b-13: (12b) jika kita menyangkal Dia, Diapun akan menyangkal kita; (13) jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya.’.

Dalam kalimat pertama, kata-kata ‘Diapun akan menyangkal kita’ merupakan sikap Kristus terhadap kita. Kalau dalam kalimat kedua kata-kata ‘Dia tetap setia’ diartikan Dia setia terhadap janji-janji dan ancaman-ancamanNya, bagi saya rasanya aneh dan tidak cocok, dan tidak memungkinkan untuk menganggap kalimat-kalimat itu sebagai kalimat-kalimat yang paralel. Lebih cocok, sama seperti dalam kalimat pertama, ini diartikan Dia tetap setia terhadap kita!

The IVP New Testament Commentary Series: While Paul does not go into the questions whether such apostates ever really ‘believed’ in Christ or what constitutes unfaithfulness to the point of denial, verse 13 may sound a note of hope intended for the church that has experienced defection and perhaps for the individual who has experienced defeat: ‘if we are faithless, he will remain faithful.’ The change from denial to ‘faithless’ (or ‘unfaithfulness’) marks a change in atmosphere (though the warning issued in verse 12 is no less real). ... Paul’s point may be that no matter what, God’s promise to save his people will not fail because some prove to be false. Or from a more personal point of view, it is possible that this is a promise that God will preserve even the weakest believer (Peter’s restoration in Jn 21:15-19 comes to mind). God must keep his promises, for they are grounded in his own being and ‘he cannot deny himself.’” [= Sementara Paulus tidak masuk ke dalam pertanyaan-pertanyaan apakah orang-orang murtad seperti itu pernah sungguh-sungguh percaya kepada Kristus atau apa yang merupakan / membentuk ketidak-percayaan kepada titik penyangkalan, ay 13 bisa membunyikan / mengucapkan suatu nada pengharapan yang dimaksudkan untuk gereja yang telah mengalami kegagalan dan mungkin untuk individu yang telah mengalami kekalahan: ‘jika kita tidak setia, Ia akan tetap setia’. Perubahan dari penyangkalan kepada ‘tidak setia’ (atau ‘ketidaksetiaan’) menandai suatu perubahan dalam suasana (sekalipun peringatan yang dikeluarkan dalam ay 12 tidak kurang sungguh-sungguhnya). ... maksud Paulus bisa adalah bahwa tak peduli apapun yang terjadi, janji Allah untuk menyelamatkan umatNya tidak akan gagal karena / sekalipun sebagian umat terbukti tidak setia. Atau dari sudut pandang yang lebih pribadi, adalah mungkin bahwa ini adalah suatu janji bahwa Allah akan memelihara / menjaga / melindungi bahkan orang percaya yang paling lemah (pemulihan Petrus dalam Yoh 21:15-19 bisa diingat). Allah pasti memegang janji-janjiNya, karena mereka didasarkan pada diriNya / keberadaanNya sendiri, dan ‘Ia tidak dapat menyangkal diriNya sendiri’.] - Libronix.

Matt Proctor: The fourth stanza is God’s response to a believer’s failure. ‘Faithless’ here does not refer to a complete lack of faith, but a wavering faith (see Mark 9:24). Stanza 3 dealt with a person’s permanent rejection of God, but this fourth stanza deals with a believer’s temporary lapse into disobedience. If stanza 3 describes Judas’s once-for-all betrayal, stanza 4 describes Peter’s momentary denial. God promises here to be faithful to such a person, despite their failings. As 1John 1:9 says, ‘If we confess our sins, he is faithful and just and will forgive us our sins and purify us from all unrighteousness.’ If a prodigal son returns, God welcomes him back with open arms. [= Bait ke 4 adalah tanggapan Allah terhadap kegagalan seorang percaya. ‘Faithless’ di sini tidak menunjuk pada sama sekali tidak adanya iman, tetapi suatu iman yang ragu-ragu / goncang (lihat Mark 9:24). Bait ke 3 menangani penolakan permanen dari seseorang terhadap Allah, tetapi bait ke 4 menangani orang percaya yang tergelincir ke dalam ketidaktaatan untuk sementara. Jika bait ke 3 menggambarkan pengkhianatan sekali dan selamanya dari Yudas, bait ke 4 menggambarkan penyangkalan sementara dari Petrus. Allah menjanjikan di sini untuk setia kepada orang seperti itu, sekalipun ada kegagalan-kegagalan mereka. Seperti 1Yoh 1:9 katakan, ‘Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.’. Jika anak yang hilang kembali, Allah menerimanya kembali dengan tangan terbuka.] - Libronix.
Mark 9:24 - “Segera ayah anak itu berteriak: ‘Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!’”.

Douglas J. W. Milne: The final lines of the hymn give the assurance that ‘if we are faithless, he will remain faithful, for he cannot disown himself’ (verse 13). This could mean that the Lord will uphold his judicial threats against those who deny him, and that he will never be untrue to his own holiness and justice against those who defect from his side. But it can also mean that for the true believer united to Christ in the enduring bonds of the gospel covenant, the occasional or periodic lapse into sin does not negate the Saviour’s commitment to them. Jesus is grieved by the failures of his people, but his love for them endures. By their more serious sins believers may lose the enjoyment of Christ’s love, through wounding their conscience and grieving his Holy Spirit, but they can never lose their salvation (John 10:28f.; 1 Cor. 3:15). To the penitent disciple Christ promises his pardoning grace, and immediately works to restore the damage done to faith through sinning (Luke 22:31–34, 54–62; John 21:15–17). To do otherwise would be to deny himself as each Christian’s faithful Friend and Brother. This is something that ethically he cannot do. [= Baris terakhir dari nyanyian pujian memberi jaminan / kepastian bahwa ‘jika kita tidak setia, Ia akan tetap setia, karena Ia tidak dapat menyangkal diriNya sendiri’ (ayat 13). Ini bisa berarti bahwa Tuhan akan memegang / menegakkan ancaman-ancaman penghakimanNya terhadap mereka yang menyangkalNya, dan bahwa Ia tidak akan pernah tidak benar kepada kekudusanNya dan keadilanNya sendiri terhadap mereka yang meninggalkan pihakNya. Tetapi itu juga bisa berarti bahwa untuk orang percaya yang sejati, yang dipersatukan dengan Kristus dalam ikatan yang bertahan dari perjanjian injil, penyelewengan yang kadang-kadang atau berkala ke dalam dosa tidaklah meniadakan komitmen dari sang Juruselamat kepada mereka. Yesus disedihkan oleh kegagalan-kegagalan umatNya, tetapi kasihNya untuk mereka bertahan. Oleh dosa-dosa mereka yang lebih serius, orang-orang percaya bisa kehilangan penikmatan kasih Kristus, melalui pelukaan hati nurani mereka dan tindakan mendukakan Roh Kudus, tetapi mereka tidak pernah bisa kehilangan keselamatan mereka (Yoh 10:28-dst; 1Kor 3:15). Kepada murid yang menyesal Kristus menjanjikan kasih karuniaNya yang mengampuni, dan dengan segera bekerja untuk memulihkan kerusakan yang dilakukan terhadap iman melalui tindakan-tindakan berdosa (Luk 22:31–34,54–62; Yoh 21:15–17). Melakukan yang sebaliknya / yang berbeda akan berarti menyangkal diriNya sendiri sebagai Sahabat dan Saudara yang setia dari setiap orang Kristen. Ini adalah sesuatu yang secara etis tidak bisa Ia lakukan.] - Libronix.

Gordon D. Fee: Line 4: ‘If we are faithless, he will remain faithful’ (cf. Rom. 3:3). This line is full of surprises, and it is also the one for which sharp differences of opinion exist regarding its interpretation. Some see it as a negative, corresponding to line 3. ‘If we are faithless’ (i.e., if we commit apostasy), God must be ‘faithful’ to himself and mete out judgment. Although such an understanding is possible, it seems highly improbable that this is what Paul himself intended. After all, that could have been said plainly. The lack of a future verb with the adverb ‘also,’ as well as the fact that God’s faithfulness in the NT is always in behalf of his people, also tend to speak out against this view. What seems to have happened is that, in a rather typical way (cf., e.g., 1 Cor. 8:3), Paul could not bring himself to finish a sentence as it began. It is possible for us to prove faithless; but Paul could not possibly say that God would then be faithless toward us. Indeed, quite the opposite. ‘If we are faithless’ (and the context demands this meaning of the verb apistoumen, not ‘unbelieving,’ as KJV, et al.), this does not in any way affect God’s own faithfulness to his people. This can mean either that God will override our infidelity with his grace (as most commentators) or that his overall faithfulness to his gracious gift of eschatological salvation for his people is not negated by the faithlessness of some. This latter seems more in keeping with Paul and the immediate context. Some have proved faithless, but God’s saving faithfulness has not been diminished thereby. ... The final coda simply explains why the final apodosis stands as it does: ‘because he cannot disown himself.’ To do so would mean that God had ceased to be. Hence eschatological salvation is for Paul ultimately rooted in the character of God. [= Baris 4: ‘Jika kita tidak setia, Ia akan tetap setia’ (bdk. Ro 3:3). Baris ini penuh dengan kejutan-kejutan, dan itu juga satu baris untuk mana ada perbedaan-perbedaan pandangan yang tajam berkenaan dengan penafsirannya. Sebagian orang melihatnya sebagai sesuatu yang negatif, sesuai dengan baris 3. ‘Jika kita tidak beriman / percaya’ (artinya, jika kita murtad), Allah pasti ‘setia’ kepada diriNya sendiri dan memberikan penghakiman secara adil. Sekalipun pengertian seperti itu bisa saja, kelihatannya sangat tidak mungkin bahwa ini adalah apa yang Paulus sendiri maksudkan. Bagaimanapun juga, itu bisa saja dikatakan dengan jelas. Tidak adanya kata kerja bentuk akan datang dengan kata keterangan ‘juga’, maupun fakta bahwa kesetiaan Allah dalam PB selalu adalah demi umatNya, juga cenderung untuk berkata dengan tegas menentang pandangan ini. Apa yang kelihatannya telah terjadi adalah bahwa, dalam suatu cara yang agak khas (bdk. sebagai contoh, 1Kor 8:3), Paulus tidak bisa menyelesaikan suatu kalimat yang ia mulai. Adalah mungkin bagi kita untuk ternyata tidak setia; tetapi Paulus tidak mungkin bisa mengatakan bahwa Allah lalu akan tidak setia terhadap kita. Yang terjadi, justru adalah apa yang sebaliknya. ‘Jika kita tidak setia’ (dan kontext menuntut arti ini dari kata kerja APISTOUMEN, bukanlah ‘tidak percaya’, seperti KJV, dll.), ini tidaklah dengan cara apapun mempengaruhi kesetiaan Allah sendiri kepada umatNya. Ini bisa berarti, atau bahwa Allah akan melindas ketidak-setiaan kita dengan kasih karuniaNya (seperti kebanyakan penafsir) atau bahwa kesetiaanNya yang menyeluruh / mencakup segala sesuatu pada anugerahNya yang penuh kasih karunia dari keselamatan yang bersifat eskatologi untuk umatNya, tidak akan ditiadakan oleh ketidak-setiaan dari sebagian umatNya. Yang belakangan ini kelihatannya lebih sesuai dengan Paulus dan kontext yang paling dekat. Sebagian orang ternyata tidak setia, tetapi kesetiaan yang menyelamatkan dari Allah tidaklah dikurangi karenanya. ... Bagian terakhir / penutup sekedar menjelaskan mengapa kesimpulan terakhir ada sebagai ia ada: ‘karena Ia tidak dapat menyangkal diriNya sendiri’. Melakukan seperti itu akan berarti bahwa Allah telah berhenti sebagai Allah / berhenti ada. Jadi, keselamatan yang bersifat eskatologi bagi Paulus berakar pada akhirnya pada / dalam karakter dari Allah.] - ‘The New International Biblical Commentary’ (Libronix).

1Kor 8:3 - “Tetapi orang yang mengasihi Allah, ia dikenal oleh Allah.”.
Catatan: Saya tidak mengerti apa maksudnya ia memberikan 1Kor 8:3 ini sebagai referensi / contoh.

Penafsir ini memberikan beberapa argumentasi yang bagus / menarik mengapa ia memilih pandangan kedua. Argumentasinya (bagian yang saya garis-bawahi) adalah:
a. Kalau Paulus memang memaksudkan bahwa Allah akan setia pada ancaman-ancamanNya dan menghukum orang yang tidak setia itu, ia bisa mengatakannya dengan jelas, sehingga tidak ada keraguan tentang apa yang ia maksudkan.
b. Tidak ada kata kerja dalam bentuk future / akan datang, dan tidak adanya kata ‘also’ [= juga] dalam bagian itu.
KJV: ‘(11b) For if we be dead with him, we shall also live with him: (12) If we suffer, we shall also reign with him: if we deny him, he also will deny us: (13) If we believe not, yet he abideth faithful: he cannot deny himself.’.
Ay 11-13: “(11) Benarlah perkataan ini: ‘Jika kita mati dengan Dia, kitapun (also / juga) akan hidup dengan Dia; (12) jika kita bertekun, kitapun (also / juga) akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita menyangkal Dia, Diapun (also / juga) akan menyangkal kita; (13) jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya.’”.
Catatan: dalam ay 11-12 kata ‘also’ [= juga], yang diterjemahkan dari kata Yunani KAI (biasanya diterjemahkan ‘dan’, atau ‘tetapi’, tetapi bisa juga diterjemahkan ‘also’ / ‘juga’ - Bible Works 7), seharusnya muncul 3 x (ini ada dalam KJV/RSV/NIV/NASB/ASV/NKJV). Tetapi dalam ay 13 kata ‘also’ [= juga] itu tidak ada! Mengapa tidak ada? Karena kata-kata ‘jika kita tidak setia’ memang kontras dengan kata-kata ‘Dia tetap setia’! Karena itu, menurut saya ini semua menunjukkan bahwa di sini terjadi bukan keparalelan, tetapi pengkontrasan!
c. Dalam Perjanjian Baru kesetiaan Allah selalu diartikan bagi umatNya!
Memang pada waktu saya sendiri melihat kata ‘setia’ dalam konkordansi, maka dalam seluruh Alkitab (dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), tidak pernah kata ‘setia’, pada waktu diterapkan kepada Allah, diartikan sebagai ‘setia pada janji-janji / ancaman-ancamanNya’!
Saya ingin menambahkan bahwa kalau yang dimaksudkan adalah ‘Allah setia pada firman / janji / ancamanNya’, Alkitab selalu menuliskan secara jelas / explicit seperti dalam contoh-contoh di bawah ini.
(1)Ul 7:9 - “Sebab itu haruslah kauketahui, bahwa TUHAN, Allahmu, Dialah Allah, Allah yang setia, yang memegang perjanjian dan kasih setiaNya terhadap orang yang kasih kepadaNya dan berpegang pada perintahNya, sampai kepada beribu-ribu keturunan,”.
(2)Ul 7:12 - “‘Dan akan terjadi, karena kamu mendengarkan peraturan-peraturan itu serta melakukannya dengan setia, maka terhadap engkau TUHAN, Allahmu, akan memegang perjanjian dan kasih setiaNya yang diikrarkanNya dengan sumpah kepada nenek moyangmu.”.
(3)Maz 145:13 - “KerajaanMu ialah kerajaan segala abad, dan pemerintahanMu tetap melalui segala keturunan. TUHAN setia dalam segala perkataanNya dan penuh kasih setia dalam segala perbuatanNya.”.
(4)Dan 9:4 - “Maka aku memohon kepada TUHAN, Allahku, dan mengaku dosaku, demikian: ‘Ah Tuhan, Allah yang maha besar dan dahsyat, yang memegang Perjanjian dan kasih setia terhadap mereka yang mengasihi Engkau serta berpegang pada perintahMu!”.

Alasan-alasan lain bagi saya untuk memilih arti ke 2 adalah:

a. Mari kita memperhatikan dan menganalisa kata-kata ‘jika kita tidak setia’.
Pada waktu saya melihat dalam konkordansi, maka kata-kata ‘tidak setia’ pada waktu ditujukan kepada manusia dalam hubungannya dengan Allah, pada umumnya / hampir semua menunjukkan ketidak-percayaan (tidak adanya iman yang sejati). Jadi, biasanya kata-kata ini ditujukan kepada orang yang tidak percaya / orang kristen KTP.
Misalnya:
(1)1Taw 10:13 - “Demikianlah Saul mati karena perbuatannya yang tidak setia terhadap TUHAN, oleh karena ia tidak berpegang pada firman TUHAN, dan juga karena ia telah meminta petunjuk dari arwah,”.
(2)Maz 78:8 - “dan jangan seperti nenek moyang mereka, angkatan pendurhaka dan pemberontak, angkatan yang tidak tetap hatinya dan tidak setia jiwanya kepada Allah.”.

Dalam kasus dimana yang ‘tidak setia’ adalah orang yang tidak percaya / orang kristen KTP, maka jelas tidak mungkin kita menafsirkan bahwa dalam keadaan seperti ini Yesus akan tetap setia kepada mereka. Maka kita harus mengambil penafsiran pertama, yaitu bahwa Ia tetap setia pada ancaman-ancaman dan janji-janjiNya.

Bdk. Yer 16:3-6 - “(3) Sebab beginilah firman TUHAN tentang anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan yang lahir di tempat ini, tentang ibu-ibu mereka yang melahirkan mereka dan tentang bapa-bapa mereka yang memperanakkan mereka di negeri ini: (4) Mereka akan mati karena penyakit-penyakit yang membawa maut; mereka tidak akan diratapi dan tidak akan dikuburkan; mereka akan menjadi pupuk di ladang; mereka akan habis oleh pedang dan kelaparan; mayat mereka akan menjadi makanan burung-burung di udara dan binatang-binatang di bumi. (5) Sungguh, beginilah firman TUHAN: Janganlah masuk ke rumah perkabungan, dan janganlah pergi meratap dan janganlah turut berdukacita dengan mereka, sebab Aku telah menarik damai sejahtera pemberianKu dari pada bangsa ini, demikianlah firman TUHAN, juga kasih setia dan belas kasihanKu. (6) Besar kecil akan mati di negeri ini; mereka tidak akan dikuburkan, dan tidak ada orang yang akan meratapi mereka; tidak ada orang yang akan menoreh-noreh diri dan yang akan menggundul kepala karena mereka.”.

Tetapi dalam Alkitab jelas juga ada kata-kata ‘tidak setia’ yang diterapkan kepada orang-orang percaya yang sungguh-sungguh yang jatuh ke dalam dosa. Contoh:
(1)Im 5:15-16 - “(15) ‘Apabila seseorang berubah setia dan tidak sengaja berbuat dosa dalam sesuatu hal kudus yang dipersembahkan kepada TUHAN, maka haruslah ia mempersembahkan kepada TUHAN sebagai tebusan salahnya seekor domba jantan yang tidak bercela dari kambing domba, dinilai menurut syikal perak, yakni menurut syikal kudus, menjadi korban penebus salah. (16) Hal kudus yang menyebabkan orang itu berdosa, haruslah dibayar gantinya dengan menambah seperlima, lalu menyerahkannya kepada imam. Imam harus mengadakan pendamaian bagi orang itu dengan domba jantan korban penebus salah itu, sehingga ia menerima pengampunan.”.
Catatan: kata-kata ‘berubah setia’ dalam Im 5:15 diterjemahkan bermacam-macam oleh Kitab Suci bahasa Inggris, tetapi Bible Works 7 mengatakan bahwa kata itu terjemahannya memang adalah ‘bertindak dengan tidak setia’. Terjemahan NASB juga menterjemahkan seperti itu. Hal yang sama muncul dalam Im 6:2 (baca sampai dengan ay 7nya), Im 26:40 (baca sampai dengan ay 45nya), Bil 5:6 (baca sampai dengan ay 7). Text ini kelihatannya menunjuk kepada orang percaya yang sungguh-sungguh yang jatuh ke dalam dosa, karena ada pendamaian dan pengampunan bagi dia.
(2)Ezra 9-10, kita lihat beberapa ayat saja.
Ezr 9:2,4 - “(2) Karena mereka telah mengambil isteri dari antara anak perempuan orang-orang itu untuk diri sendiri dan untuk anak-anak mereka, sehingga bercampurlah benih yang kudus dengan penduduk negeri, bahkan para pemuka dan penguasalah yang lebih dahulu melakukan perbuatan tidak setia itu.’ ... (4) Lalu berkumpullah kepadaku semua orang yang gemetar karena firman Allah Israel, oleh sebab perbuatan tidak setia orang-orang buangan itu, tetapi aku tetap duduk tertegun sampai korban petang.”.
Ezr 10:2,6,10 - “(2) Maka berbicaralah Sekhanya bin Yehiel, dari bani Elam, katanya kepada Ezra: ‘Kami telah melakukan perbuatan tidak setia terhadap Allah kita, oleh karena kami telah memperisteri perempuan asing dari antara penduduk negeri. Namun demikian sekarang juga masih ada harapan bagi Israel. ... (6) Sesudah itu Ezra pergi dari depan rumah Allah menuju bilik Yohanan bin Elyasib, dan di sana ia bermalam dengan tidak makan roti dan minum air, sebab ia berkabung karena orang-orang buangan itu telah melakukan perbuatan tidak setia. ... (10) Maka bangkitlah imam Ezra, lalu berkata kepada mereka: ‘Kamu telah melakukan perbuatan tidak setia, karena kamu memperisteri perempuan asing dan dengan demikian menambah kesalahan orang Israel.”.
Sederetan ayat dalam kitab Ezra ini menunjukkan bahwa orang-orang Israel itu tidak setia dalam arti mereka jatuh ke dalam dosa (mengambil istri asing), tetapi kelihatannya mereka adalah orang-orang percaya karena akhirnya mereka bertobat dari dosa itu.
Bdk. Ezra 10:44 - “Mereka sekalian mengambil sebagai isteri perempuan asing; maka mereka menyuruh pergi isteri-isteri itu dengan anak-anaknya.”.

Tetapi ayat yang paling jelas yang berbicara tentang orang-orang percaya yang tidak setia adalah ayat di bawah ini, karena ayat ini berbicara tentang Musa dan Harun, yang pasti adalah orang percaya.

Ul 32:51 - “oleh sebab kamu telah berubah setia terhadap Aku di tengah-tengah orang Israel, dekat mata air Meriba di Kadesh di padang gurun Zin, dan oleh sebab kamu tidak menghormati kekudusanKu di tengah-tengah orang Israel.”.

Catatan: Kata ‘kamu’ yang saya beri garis bawah ganda ada dalam bentuk jamak, dan karena itu menunjuk bukan kepada Musa saja, tetapi kepada Musa dan Harun.

Dalam kasus seperti ini (orang kristen sejati yang tidak setia), bisa dipastikan bahwa kata-kata ‘Dia tetap setia’ diberi obyek ‘orang percaya / orang Kristen’ (penafsiran kedua). Jadi seluruh kalimat artinya menjadi, ‘Jika kita (orang Kristen) tidak setia, Dia akan tetap setia (kepada kita). Ia tidak akan membuang kita / memasukkan kita ke dalam neraka.

Bdk. Yer 31:3 - “Dari jauh TUHAN menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setiaKu kepadamu.”.
Catatan: baca Yer 30 yang menunjukkan bahwa tadinya mereka dihajar oleh Tuhan karena dosa-dosa mereka!

Kesukaran dalam menafsirkan 2Tim 2:13 ini adalah: Paulus tidak menjelaskan orang yang ‘tidak setia’ itu orang kristen yang sejati atau orang kristen KTP.

b. Arti ke 2 ini cocok dengan banyak ayat Alkitab seperti di bawah ini:
(1)2Sam 7:14-15 - “(14) Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anakKu. Apabila ia melakukan kesalahan, maka Aku akan menghukum dia dengan rotan yang dipakai orang dan dengan pukulan yang diberikan anak-anak manusia. (15) Tetapi kasih setiaKu tidak akan hilang dari padanya, seperti yang Kuhilangkan dari pada Saul, yang telah Kujauhkan dari hadapanmu.”.
(2)Yes 54:5-8,10 - “(5) Sebab yang menjadi suamimu ialah Dia yang menjadikan engkau, TUHAN semesta alam namaNya; yang menjadi Penebusmu ialah Yang Mahakudus, Allah Israel, Ia disebut Allah seluruh bumi. (6) Sebab seperti isteri yang ditinggalkan dan yang bersusah hati TUHAN memanggil engkau kembali; masakan isteri dari masa muda akan tetap ditolak? firman Allahmu. (7) Hanya sesaat lamanya Aku meninggalkan engkau, tetapi karena kasih sayang yang besar Aku mengambil engkau kembali. (8) Dalam murka yang meluap Aku telah menyembunyikan wajahKu terhadap engkau sesaat lamanya, tetapi dalam kasih setia abadi Aku telah mengasihani engkau, firman TUHAN, Penebusmu. ... (10) Sebab biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setiaKu tidak akan beranjak dari padamu dan perjanjian damaiKu tidak akan bergoyang, firman TUHAN, yang mengasihani engkau.”.
(3)Rat 3:31-33 - “(31) Karena tidak untuk selama-lamanya Tuhan mengucilkan. (32) Karena walau Ia mendatangkan susah, Ia juga menyayangi menurut kebesaran kasih setiaNya. (33) Karena tidak dengan rela hati Ia menindas dan merisaukan anak-anak manusia.”.

-bersambung