ALLAH TRITUNGGAL(2)-Hakekat dan Pribadi.
Pdt.Budi Asali, M.Div.
Mengapa digunakan
istilah-istilah seperti ‘Trinity’ [= Tritunggal], ‘person’ [=
pribadi] dan ‘essence’ [= hakekat], padahal istilah-istilah tersebut
tidak ada dalam Alkitab?
1) Istilah
‘Trinity’ [= Tritunggal].
William G. T.
Shedd: “The technical terms ‘trinity’ is not
found in Scripture; ... The earliest use of the word is in Theophilus of Antioch (+ 181, or 188),
... Tertullian (+ 220) employs the term trinitas.” [= Istilah tekhnis ‘Tritunggal’ tidak
ditemukan dalam Kitab Suci; ... penggunaan yang paling awal dari kata itu
adalah dalam Theophilus dari Antiokhia (+ 181, atau 188), ... Tertullian (+
220) menggunakan istilah ‘Trinitas’.] - ‘Shedd’s
Dogmatic Theology’, vol I, hal 267.
Herman Bavinck: “Scripture does not give us
a fully formulated doctrine of the Trinity, but contains all the elements out
of which Theology has constructed this doctrine.” [= Kitab Suci tidak memberi kita doktrin
tentang Tritunggal yang diformulakan secara penuh, tetapi mencakup semua elemen
dari mana Theologia telah menyusun doktrin ini.] - ‘The Doctrine of God’, hal 274.
Dengan kata lain, sekalipun dalam Kitab
Suci tidak ada pernyataan explicit bahwa Allah itu adalah satu hakekat, 3
pribadi, dan bahwa 3 pribadi itu setingkat, dan sama sifat-sifatNya, dan
sebagainya, tetapi dalam Kitab Suci semua elemen dari doktrin Allah Tritunggal ada.
Dalam Perjanjian Lama hanya ada secara
samar-samar, tetapi dalam Perjanjian Baru menjadi jauh lebih jelas. Tetapi
setelah ada Perjanjian Baru, dan kita membaca Perjanjian Lama dengan ‘kaca mata
Perjanjian Baru’, maka akan terlihat bahwa di Perjanjian Lama ada lebih banyak
ayat yang mendasari ajaran tentang Allah Tritunggal.
Untuk jelasnya nanti kita akan melihat
dasar Kitab Suci dari doktrin Allah Tritunggal, baik dari Perjanjian Lama
maupun dari Perjanjian Baru.
2) Istilah ‘essence’ [= hakekat] dan ‘person’ [=
pribadi].
Calvin: “although the heretics rail at the word
‘person,’ or certain squeamish men cry out against admitting a term fashioned
by the human mind, they cannot shake our conviction that three are spoken of,
each of which is entirely God, yet there is not more than one God. What
wickedness, then, it is to disapprove of words that explain nothing else than
what is attested and sealed by Scripture! It would be enough, they say, to confine
within the limits of Scripture not only our thoughts but also our words, rather
than scatter foreign terms about, which would become seedbeds of dissension and
strife. ... If they call a foreign word
one that cannot be shown to stand written syllable by syllable in Scripture,
they are indeed imposing upon us an unjust law which condemns all
interpretation not patched together out of the fabric of Scripture.
... what prevents us from explaining in clearer words those matters in
Scripture which perplex and hinder our understanding, yet which conscientiously
and faithfully serve the truth of Scripture itself, and are made use of sparingly and
modestly and on due occasion? ... What is to be said, moreover, when it has
been proved that the church is utterly compelled to make use of the words
‘Trinity’ and ‘Persons’? If anyone, then, finds fault with the novelty of the
words, does he not deserve to be judged as bearing the light of truth
unworthily, since he is finding fault only with what renders the truth plain
and clear?” [= sekalipun bidat-bidat / orang-orang sesat mencemooh pada kata
‘pribadi’, atau orang-orang yang sangat kritis / cerewet berteriak menentang
penerimaan suatu istilah yang diciptakan oleh pikiran manusia, mereka tidak
bisa menggoyahkan keyakinan kami bahwa tiga yang dibicarakan, masing-masing adalah
Allah sepenuhnya, tetapi tidak ada lebih dari satu Allah. Maka,
kejahatan apakah itu, yang mencela / tidak menyetujui kata-kata yang tidak
menjelaskan apapun juga selain dari apa yang ditegaskan dan dimeteraikan oleh
Kitab Suci! Ada lah
cukup, mereka berkata, untuk membatasi di dalam batasan-batasan dari Kitab
Suci, bukan hanya pikiran-pikiran kita tetapi juga kata-kata kita, dari pada
menyebarkan istilah-istilah asing ke segala arah, yang akan menjadi sumber dari
munculnya ketidak-setujuan / konflik dan pertengkaran. ... Jika
mereka menyebut suatu kata asing terhadap satu kata yang tidak bisa ditunjukkan
tertulis suku kata demi suku kata dalam Kitab Suci, mereka memaksakan kepada
kita suatu hukum yang tidak benar, yang mengecam semua penafsiran yang tidak
menyatukan potongan-potongan dari Kitab Suci.
... apa yang menghalangi kita dari tindakan menjelaskan dalam kata-kata yang
lebih jelas persoalan-persoalan dalam Kitab Suci yang membingungkan dan
menghalangi pengertian kita, tetapi yang dengan teliti dan setia melayani
kebenaran dari Kitab Suci sendiri, dan digunakan dengan hemat dan dengan rendah
hati dan pada saat yang seharusnya? ... Selanjutnya, apa yang harus dikatakan
pada waktu telah dibuktikan bahwa gereja sepenuhnya dipaksa untuk menggunakan
kata ‘Tritunggal’ dan ‘Pribadi-Pribadi’? Jadi, jika seseorang mencari kesalahan
dengan kata-kata yang baru, tidakkah ia layak untuk dihakimi sebagai
menghasilkan terang kebenaran yang tidak berharga, karena ia mencari kesalahan
hanya pada apa yang membuat kebenaran menjadi terang dan jelas?] - ‘Institutes of the Christian
Religion’, Book I, Chapter XIII, No 3.
Catatan: kata ‘sparingly’ [= dengan hemat] mungkin maksudnya ‘tidak dengan sembarangan’.
Dengan kata-kata di atas, Calvin jelas
mencela orang-orang yang tidak mau menerima ajaran tentang Allah Tritunggal
karena menggunakan kata-kata / istilah-istilah yang tidak ada dalam Alkitab,
karena sekalipun kata-kata itu diciptakan, tetapi penjelasan dengan kata-kata
itu tetap menjelaskan ajaran yang ada dalam Alkitab.
Calvin (pada waktu ia
berbicara tentang Allah Tritunggal dalam Yoh 1:1-2) berkata sebagai
berikut:
“And
yet the ancient writers of the Church were excusable, when, finding that they
could not in any other way maintain sound and pure doctrine in opposition to
the perplexed and ambiguous phraseology of the heretics, they were compelled to invent some
words, which after all had no other meaning than what is taught in
the Scriptures. They said that there are three
Hypostases, or Subsistences, or Persons, in the one and simple essence of God.”
[= Dan penulis-penulis kuno dari gereja bisa dibenarkan, karena pada waktu
mereka melihat bahwa tidak ada jalan lain untuk mempertahankan doktrin yang
sehat dan murni untuk menentang penyusunan kata yang membingungkan dan berarti
dua dari orang-orang sesat, maka
mereka terpaksa menciptakan beberapa kata-kata, yang sebetulnya
tidak mempunyai arti lain dari pada apa yang diajarkan dalam Kitab Suci. Mereka
berkata bahwa ada tiga
pribadi dalam hakekat
Allah yang satu dan sederhana.].
Renungkan:
a) Istilah
‘free will’ [= kehendak bebas].
Steven Liauw pernah mengatakan ada dan
menunjukkan ayat-ayat yang dalam KJV menggunakan kata ‘freewill’ seperti
Im 22:18.
Tetapi saya menjawab:
‘Freewill’ berbeda / tidak sama dengan ‘free will’.
‘Freewill’ adalah satu kata, dan ini adalah kata
sifat, artinya ‘sukarela’.
Tetapi ‘free will’ terdiri dari dua kata, yaitu kata benda ‘will’ /
‘kehendak’, dan kata sifat ‘free’ / ‘bebas’, yang menjelaskan kata benda
‘will’ / ‘kehendak’ itu. Arti seluruhnya ‘kehendak bebas’. Dan istilah ini tidak ada dalam Alkitab bagian manapun! Tetapi
hampir dalam setiap perdebatan Calvinisme vs Arminianisme, istilah ini
digunakan!
BACA JUGA: ALLAH TRITUNGGAL-STEPHEN TONG
b) Kata ‘sakramen’.
Jerome menterjemahkan kata ‘mystery’
/ ‘rahasia’ dalam Ef 5:32 sebagai ‘sakramen’, tetapi ini jelas terjemahan yang
salah!
Ef 5:31-32 - “(31) Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan
ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
(32) Rahasia ini besar, tetapi yang aku
maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.”.
Yunani: MUSTERION.
KJV/RSV/NIV/NASB/ASV/NKJV: ‘mystery’
[= misteri].
YLT: ‘secret’ [= rahasia].
Jadi, sebetulnya kata ‘sakramen’ itu tidak
pernah ada dalam Alkitab. Tetapi boleh dikatakan semua orang kristen / gereja
menggunakan kata ini!
Mengapa orang-orang itu tidak keberatan
dengan penggunaan istilah-istilah / kata-kata ini, tetapi mereka keberatan
terhadap penggunaan kata-kata ‘hakekat’ dan ‘pribadi’ dalam doktrin Allah
Tritunggal? Ini merupakan suatu sikap yang tidak konsisten!
Calvin: “And Augustine’s
excuse is similar: on account of the poverty of human speech in so great a
matter, the word ‘hypostasis’ had been forced upon us by necessity, not to
express what it is, but only not to be silent on how Father, Son, and Spirit
are three.” [= Dan alasan
Agustinus juga mirip: karena kemiskinan dari kata-kata manusia dalam persoalan
yang begitu besar seperti ini, kata ‘HUPOSTASIS’ {=
pribadi}
dipaksakan kepada kita karena kebutuhan, bukan untuk menyatakan apa hal itu, tetapi hanya supaya tidak
bungkam / diam tentang bagaimana Bapa, Anak, dan Roh adalah tiga.] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter XIII, no 5.
Herman Bavinck mengatakan
sebagai berikut:
“It
is of course self-evident that this confession of Nicea and Chalcedon may not lay claim to infallibility.
The terms of which the church and its theology make use, such as person,
nature, unity of substance, and the like, are not found in Scripture, but are
the product of reflection which Christianity gradually had to devote to this
mystery of salvation. The church was compelled to do this reflecting by the
heresies which loomed up on all sides, both within the church and outside of
it. All those expressions and statements which are employed in the confession
of the church and in the language of theology are not designed to explain the
mystery which in this matter confronts it, but rather to maintain it pure and
unviolated over against those who would weaken or deny it.”
[= Jelaslah bahwa pengakuan iman Nicea dan Chalcedon tidak bisa mengclaim ke-tidak-bisa-salah-an.
Istilah-istilah yang digunakan oleh gereja dan
theologianya, seperti ‘pribadi’, ‘hakekat’, ‘kesatuan hakekat / zat’, dan
sebagainya, tidak ditemukan dalam Kitab Suci, tetapi merupakan hasil pemikiran
yang secara bertahap / perlahan-lahan harus diberikan oleh kekristenan kepada
misteri tentang keselamatan ini. Gereja dipaksa untuk melakukan pemikiran ini
oleh bidat-bidat yang muncul dan mengancam dari semua sisi, baik di dalam
maupun di luar gereja. Semua istilah dan
pernyataan yang digunakan dalam pengakuan iman gereja dan dalam bahasa
theologia, tidak dimaksudkan untuk
menjelaskan misteri yang dihadapi, tetapi untuk menjaganya supaya tetap murni dan
tak terganggu dari mereka yang ingin melemahkan atau menyangkalnya.]
- ‘Our
Reasonable Faith’, hal 321-322.
Bavinck melanjutkan lagi:
“There
have been many, and there still are many, who look down upon the doctrine of
the two natures from a lofty vantage point, and try to supplant it by other
words and phrases. What differences does it really make, they begin by saying, whether
we agree with this doctrine or not? What matters is that we ourselves possess
the person of Christ, He who stands high and exalted above this awkward confession.
But before long these same persons begin introducing words and terms themselves
in order to describe the person of Christ whom they accept. ... And then
history has taught that the terms of the attackers of the Doctrine of the Two
Natures are far poorer in worth and force, and that they often, indeed, involve
doing injustice to the incarnation as Scripture explains it to us.”
[= Ada banyak orang, dan sampai sekarang masih ada banyak orang, yang dari
tempat yang tinggi dan menguntungkan, meremehkan /
memandang rendah doktrin tentang dua hakekat ini, dan mencoba untuk
menggantinya dengan kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang lain.
Mereka memulainya dengan berkata: apa bedanya apakah kami menyetujui doktrin
ini atau tidak? Yang penting adalah bahwa kami memiliki pribadi Kristus, yang
berdiri jauh di atas pengakuan yang aneh ini. Tetapi
sebentar lagi, orang-orang ini sendiri mulai memperkenalkan kata-kata dan
istilah-istilah untuk menggambarkan
pribadi Kristus yang mereka terima. ... Dan
sejarah telah mengajar bahwa istilah-istilah dari para penyerang Doktrin tentang Dua Hakekat ini, jauh lebih jelek
dalam nilainya dan kekuatannya, dan bahwa mereka bahkan sering terlibat dalam
perlakuan yang tidak benar terhadap inkarnasi seperti yang dijelaskan oleh
Kitab Suci kepada kita.] - ‘Our Reasonable Faith’, hal 321-322.
BACA JUGA: YESUS KRISTUS ADALAH TUHAN DAN ALLAH
Catatan: dalam kedua kutipan dari Bavinck di atas, ia sebetulnya bukan berbicara tentang Allah Tritunggal, tetapi tentang diri Kristus, yang adalah satu pribadi tetapi memiliki 2 hakekat (natures). Tetapi saya mengutip kata-kata Bavinck di sini, karena saya menganggap bahwa kata-katanya juga bisa diterapkan dalam persoalan Allah Tritunggal.
Apa yang dikatakan Herman
Bavinck ini memang tepat. Orang yang menolak istilah-istilah / kata-kata
‘pribadi’ dan ‘hakekat’ biasanya lalu menciptakan istilah-istilah / kata-kata
sendiri yang ternyata jauh lebih jelek dari istilah-istilah ‘pribadi’ dan
‘hakekat’ ini.
Contoh:
Pdt. Yohanes Bambang dari GKI dalam
bukunya yang berjudul ‘Tuhan ajarlah aku’ berkata sebagai berikut:
“Jadi karena
hakikat Alkitab berfungsi sebagai pewartaan iman maka dalam kesaksiannya tidak
pernah berspekulasi juga mengenai masalah sebagaimana yang dikemukakan oleh
Tertullianus. Alkitab tidak pernah membuat hipotesa
tentang Allah Bapa, Allah Anak dan Roh Kudus dengan kategori-kategori ‘UNA
SUBSTANTIA, TRES PERSONAE’ (satu zat yang memiliki tiga pribadi).
Cara berpikir Tertullianus adalah cara berpikir yang filsafati ketimbang cara
berpikir teologis-alkitabiah. Bila demikian, identitas Roh Kudus bukan dalam
pengertian ZAT ILAHI yang memiliki kepribadian sendiri. Alkitab tidak pernah mengenal atau mempergunakan istilah dan
pengertian ZAT ILAHI.” (hal 131).
Jadi, Pdt. Yohanes Bambang menolak
ajaran Tertullian ini tentang satu hakekat dan tiga pribadi ini dengan alasan
bahwa istilah ‘zat ilahi’ itu tidak ada dalam Kitab Suci. Tetapi anehnya, dalam
buku yang sama:
1) Di
hal 109 ia berkata: “Secara
matematis memang berjumlah ‘tiga’. Tetapi dari penghayatan iman dan materi Allah: ‘ketigaNya
adalah YANG TUNGGAL’.”.
2) Di
hal 110 ia berkata: “Jadi
Allah dan Yesus adalah ‘satu’, tapi bukan ‘satu’ dalam arti matematis, juga
bukan dalam arti satu zat. Allah dan Yesus adalah satu dalam ciri hakiki ilahi dan
karya (pekerjaan)Nya.”.
3) Di
hal 135 ia berkata: “...
sehingga dalam diri Yesus Kristus nampak seluruh ciri hakiki Allah sendiri.”.
Yang ingin saya tanyakan adalah: dari
mana ia mendapatkan istilah ‘ciri hakiki Allah / ilahi’ dan ‘materi’ itu? Apakah istilah itu ada dalam
Kitab Suci? Kalau tidak ada, mengapa ia mau menggunakannya tetapi pada saat
yang sama menolak penggunaan istilah ‘zat ilahi’, karena tidak ada dalam Kitab Suci?
Bukankah semua ini menunjukkan ketidak-konsekwenannya?
-bersambung-